Arena Bobotoh: Rivalitas Tanpa Nalar
Monday, 24 June 2013 | 09:29Kegoblogan dibalas kegoblogan, mungkin rangkaian kata itu sedikit bisa menggambarkan insiden yang terjadi di dua kota utama tanah air pada akhir pekan lalu, saat bus pemain PERSIB diserang oleh oknum suporter persija di jakarta tak lama kemudian tindakan tersebut “dibalas” di Bandung dengan perusakan terhadap mobil-mobil plat B oleh oknum pendukung PERSIB. Kata dibalas sengaja saya beri tanda kutip karena memang tidak jelas dan keliru dalam konteks sasaran, seharusnya yang namanya balas membalas itu ya dilakukan terhadap pelaku atau bagian dari pelaku sehingga efek balas itu terasa.
Namun yang terjadi justru si pelaku tetap leluasa melenggang bebas sedangkan kerugian dan sakit tak hanya diterima oleh tim namun juga masyarakat diluar lingkaran konflik, banyak orang mengutuk dan membenci simbol-simbol suporter PERSIB, orang dengan syal dan baju biru kini dianggap momok yang harus dijauhi, teriakan PERSIB berarti teror dan ancaman bagi mereka yang berada diluar lingkaran euforia. Maka para suporter, pendukung, bobotoh PERSIB yang masih waras dan benar-benar memberi sumbangsih nyata terhadap tim melalui tiket dan pembelian produk-produk sponsor pun terkena imbasnya. Kini tak ada lagi persepsi positif untuk bobotoh dimata mereka yang berpikir, yang beretika, yang bersosialita, yang bermartabat. PERSIB dan segala simbolnya tidak lagi menyejukkan dan layak direstui bagi mereka yang berada diluar lingkaran PERSIB-bobotoh. Bahkan lingkaran PERSIB-bobotoh yang sehat, berkelas dan bermartabat itu kini semakin susut digantikan oleh lingkaran PERSIB-bobotoh yang kumuh, brutal, anti kesantunan, tak beretika dan tak layak dikatakan berkelas. Maka tindakan-tindakan tak terpuji sebagai reaksi ataupun justru alasan baik dan menjadi pembenaran bagi mereka yang sejak awal ingin bertindak brutal merusak adalah tak dapat dibenarkan dalam sudut pandang apapun.
Dan goblog yang tak kalah goblog bahkan menjadi biangnya goblog adalah penyerangan terhadap bus pemain PERSIB. Jujur saja saya termasuk golongan yang menikmati adanya rivalitas dalam sepakbola, tak cukup hanya keringat jika perlu darah pun harus turut serta dalam olahraga maskulin ini, namun tentunya dalam konteks dan batas yang benar. Rival para pemain adalah pemain juga, maka bermain total hingga meneteskan darah atau mematahkan kaki adalah bumbu sebuah totalitas, toh ada wasit sebagai penguasa yurisdiksi sepakbola disana. Rival suporter adalah suporter juga, tak cukup saling ejek, jika terlanjur saling berhadapan maka silakan saling pukul, saling kejar dan saling lempar batu asalkan yang menjadi korban (tanpa perlu korban nyawa) adalah para suporter yang terlibat dan bukannya masyarakat umum serta pihak diluar lingkaran konflik.
Nah yang terjadi dalam peristiwa penyerangan ini sudah salah kaprah, kelompok yang mengaku suporter sepakbola justru membunuh sepakbola itu sendiri dengan mengakibatkan tak terlaksananya sebuah pertandingan sepakbola. Perlu dipahami bahwa para pemain adalah aset sepakbola kita semua yang mengaku suporter sepakbola, maka tak peduli dari tim mana pun justru kita harus menjaga aset tersebut, karena jika aset itu terusik maka sepakbola tak akan ada dan tak perlu lagi ada yang namanya suporter sepakbola. Biarlah yang menundukkan dan menaklukkan tim rival adalah tim kesayangan kita, dengan arena tarung lapangan hijau 2×45 menit, disanalah kejayaan dan kemenangan sejati layak dirayakan, bukan dengan teror dan serangan liar yang dilakukan oleh suporter terhadap tim rival, karena apa yang dicari dan dirayakan sungguh jauh dari nalar.
Oleh karena itu saya pun tak menyepakati peristiwa pemukulan terhadap ismed sofyan di sesi ujicoba lapang jelang laga PERSIB vs Persija beberapa musim yang lalu, ataupun kasus pelemparan batu setelah ujicoba lapang terhadap bus PSMS saat jagoan medan itu masih diperkuat oleh Usep Munandar dan Deden Hermawan. Karena rivalitas tetaplah harus ditempatkan pada konteks dan nalar, pelaku yang seimbang sesuai perannya dalam tempat dan waktu yang benar, pemain dengan pemain, suporter dengan suporter, wasit memegang kuasa penuh di lapangan, polisi sebagai pengendali bentrok suporter. Saat peluit panjang berbunyi, maka rivalitas itu tetap membara namun terlarang untuk dipaksakan sebelum tiba 2×45 menit berikutnya.
*penulis adalah bobotoh, peneliti di Kemenkumham RI, penyiar radio, Ex.tukang casting ABG putri & Ass.produser TV, berkhidmat dengan akun twitter @ekomaung

Kegoblogan dibalas kegoblogan, mungkin rangkaian kata itu sedikit bisa menggambarkan insiden yang terjadi di dua kota utama tanah air pada akhir pekan lalu, saat bus pemain PERSIB diserang oleh oknum suporter persija di jakarta tak lama kemudian tindakan tersebut “dibalas” di Bandung dengan perusakan terhadap mobil-mobil plat B oleh oknum pendukung PERSIB. Kata dibalas sengaja saya beri tanda kutip karena memang tidak jelas dan keliru dalam konteks sasaran, seharusnya yang namanya balas membalas itu ya dilakukan terhadap pelaku atau bagian dari pelaku sehingga efek balas itu terasa.
Namun yang terjadi justru si pelaku tetap leluasa melenggang bebas sedangkan kerugian dan sakit tak hanya diterima oleh tim namun juga masyarakat diluar lingkaran konflik, banyak orang mengutuk dan membenci simbol-simbol suporter PERSIB, orang dengan syal dan baju biru kini dianggap momok yang harus dijauhi, teriakan PERSIB berarti teror dan ancaman bagi mereka yang berada diluar lingkaran euforia. Maka para suporter, pendukung, bobotoh PERSIB yang masih waras dan benar-benar memberi sumbangsih nyata terhadap tim melalui tiket dan pembelian produk-produk sponsor pun terkena imbasnya. Kini tak ada lagi persepsi positif untuk bobotoh dimata mereka yang berpikir, yang beretika, yang bersosialita, yang bermartabat. PERSIB dan segala simbolnya tidak lagi menyejukkan dan layak direstui bagi mereka yang berada diluar lingkaran PERSIB-bobotoh. Bahkan lingkaran PERSIB-bobotoh yang sehat, berkelas dan bermartabat itu kini semakin susut digantikan oleh lingkaran PERSIB-bobotoh yang kumuh, brutal, anti kesantunan, tak beretika dan tak layak dikatakan berkelas. Maka tindakan-tindakan tak terpuji sebagai reaksi ataupun justru alasan baik dan menjadi pembenaran bagi mereka yang sejak awal ingin bertindak brutal merusak adalah tak dapat dibenarkan dalam sudut pandang apapun.
Dan goblog yang tak kalah goblog bahkan menjadi biangnya goblog adalah penyerangan terhadap bus pemain PERSIB. Jujur saja saya termasuk golongan yang menikmati adanya rivalitas dalam sepakbola, tak cukup hanya keringat jika perlu darah pun harus turut serta dalam olahraga maskulin ini, namun tentunya dalam konteks dan batas yang benar. Rival para pemain adalah pemain juga, maka bermain total hingga meneteskan darah atau mematahkan kaki adalah bumbu sebuah totalitas, toh ada wasit sebagai penguasa yurisdiksi sepakbola disana. Rival suporter adalah suporter juga, tak cukup saling ejek, jika terlanjur saling berhadapan maka silakan saling pukul, saling kejar dan saling lempar batu asalkan yang menjadi korban (tanpa perlu korban nyawa) adalah para suporter yang terlibat dan bukannya masyarakat umum serta pihak diluar lingkaran konflik.
Nah yang terjadi dalam peristiwa penyerangan ini sudah salah kaprah, kelompok yang mengaku suporter sepakbola justru membunuh sepakbola itu sendiri dengan mengakibatkan tak terlaksananya sebuah pertandingan sepakbola. Perlu dipahami bahwa para pemain adalah aset sepakbola kita semua yang mengaku suporter sepakbola, maka tak peduli dari tim mana pun justru kita harus menjaga aset tersebut, karena jika aset itu terusik maka sepakbola tak akan ada dan tak perlu lagi ada yang namanya suporter sepakbola. Biarlah yang menundukkan dan menaklukkan tim rival adalah tim kesayangan kita, dengan arena tarung lapangan hijau 2×45 menit, disanalah kejayaan dan kemenangan sejati layak dirayakan, bukan dengan teror dan serangan liar yang dilakukan oleh suporter terhadap tim rival, karena apa yang dicari dan dirayakan sungguh jauh dari nalar.
Oleh karena itu saya pun tak menyepakati peristiwa pemukulan terhadap ismed sofyan di sesi ujicoba lapang jelang laga PERSIB vs Persija beberapa musim yang lalu, ataupun kasus pelemparan batu setelah ujicoba lapang terhadap bus PSMS saat jagoan medan itu masih diperkuat oleh Usep Munandar dan Deden Hermawan. Karena rivalitas tetaplah harus ditempatkan pada konteks dan nalar, pelaku yang seimbang sesuai perannya dalam tempat dan waktu yang benar, pemain dengan pemain, suporter dengan suporter, wasit memegang kuasa penuh di lapangan, polisi sebagai pengendali bentrok suporter. Saat peluit panjang berbunyi, maka rivalitas itu tetap membara namun terlarang untuk dipaksakan sebelum tiba 2×45 menit berikutnya.
*penulis adalah bobotoh, peneliti di Kemenkumham RI, penyiar radio, Ex.tukang casting ABG putri & Ass.produser TV, berkhidmat dengan akun twitter @ekomaung

Ceuk sim kuringmah ti management na sing arakur,…
Saya oge plat B tapi hate mah tetep Persib
satuju kang, kedewasaan bobotoh d tuntut jang perkembangan persib kahareupna. tong sarua na da urg mah orang sunda nu silh asah asih jeung asuh..
Kang leres teu saur na dugi ka aya korban jiwa ku aksi pelemparan batu bobotoh? Abdi maca d vivanews
Betul kang Eko…Satuju..
2X45,Dua Rivalitas dengan satu Kejayaan…(PERSIB Sapaehna,Bobotoh UNPAD D.U)
bukan persib sampai mati, tapi persib selalu di hati kang.:)
setuju kana tulisan kang Eko… mung antar suporter tetap ulah rusuh/ulang saling aniya kedah saling asih…… jaman perserikatan Kapungkur ari Persib vs PSMS tarung di stadion GBK da superter Persib sareng PSMS nonton bareng berdampingan ngadukung tim masing2 anpa saling bentrok….. Iraha suasanana sapertos kitu : Damai……
Untung mobil aing plat A..
bobotoh na ge ti karampung, anu sok marabok, areweuh gawe, galandangan, teu sarakola….rek kumaha persib juara supporter na teu nyarakola kitu. solusina….. polisi kudu aya gawe….anarkis ko di pelihara. bangsa kuw sedang sakit.
persib pokonama sok sararia ngaromong naon ge moal didinge kuaing..pokona mah persib…
Solusi mah cuma 1, mahalin harga tiket masuk stadion.. Biar teu kabeuli ku org2 miskin nu (biasana) teu nyarakola, nu beukina ngan rusuh hungkul
Justru di luar lapang Ang, bobotoh anu ngabahayakeun mah.
beuki mahal harga tiket beuki rusuh, komo nepi ngabebedakeun miskin kaya sakola atawa heunteu mah…
sarua ngadukung persib mah ulah rasis
Ngarasa nyakola mah kudu na mikir jalan keluar lain nyieun masalah anyar …
Teu satuju jeung maneh !
Hidup persib hidup bobotoh !
Karena rivalitas tetaplah harus ditempatkan pada konteks dan nalar, pelaku yang seimbang sesuai perannya dalam tempat dan waktu yang benar, pemain dengan pemain, suporter dengan suporter, wasit memegang kuasa penuh di lapangan, polisi sebagai pengendali bentrok suporter. 🙂
persib alus euyy iraaaaaaaaha mneh maen dei aing sono ka mneh
nu puguh mah rindu juara lur
sekarang kita harus bersikap dewasa.
Siga na mah sarakola, ngan teu nyakola,,,
Polisi ge sarua, kudu diajar ka Inggris heula,,, Polisi nonton penonton ulah ngilu nonton nu maen,,,,
Tapi aya nu kurang yeuh,,, sigana di urang mah teu aya anu ngaranna “steward…. ” .
naon sih artina “steward”?
kabeh dulur sing akur …………..
kudu era ku batur………….
respect atuh