Asumsi kolektif masyarakat terhadap seorang yang memilih berambut gondrong sangatlah beragam. Berperilaku menyimpang dan kerap melanggar norma sosial, itu baru sebagiannya. Doyan pesta, huru-hara, hura-hura, dan mudah larut dalam euforia, adalah bagian lain di dalamnya.
Bahkan negara kita pernah melakukan pelarangan rambut gondrong, di bawah rezim orde lama. Suatu kebijakan menggelikan dalam catatan sejarah, meski bukan satu-satunya. Sialnya, pelarangan rambut gondrong lebih masif diupayakan di rezim berikutnya. Hingga menjalar ke seluruh kota-kota besar lainnya.
Orang gondrong dianggap memiliki gaya hidup yang acuh tak acuh, serta identik dengan hal negatif selayaknya radikalisma. Faktanya, itu semua hanyalah interpretasi khalayak terhadap mereka yang memiliki rambut gondrong.
Semua klaim demikian akan runtuh, dan berbalik mengamini bahwa tidak ada hubungan sama sekali antara model rambut dan perilaku seseorang, terlebih setelah mengenal beberapa karakter pemain sepakbola Indonesia wabil khusus pemilik nomor punggung 24 di tim Persib Bandung, Hariono. Seorang lelaki pemalu yang acap kali menghindari sorot kamera.
Boro-boro belaga gila, menendang penalti yang sudah selayaknya dilakukan — setelah menimbang dedikasi yang telah diberikannya pun, nyaris ditolaknya. Ia seorang dengan pembawaan tenang, irit bicara, namun, sepertinya punya tabungan senyum yang cukup melimpah.
Hariono pula yang kerap bermain dengan tekel tanpa kompromi, siap menerjang beragam tarian pemain tengah lawan. Pengaruhnya terasa, terutama oleh karena jiwa spartan yang tertancap dalam tubuhnya.
Hariono, nama yang akan tetap hidup di hati publik bola, bukan karena sekadar pemain biasa yang ditakar dari kemampuan, jumlah gol, dan prestasi. Pada diri Hariono, tertanam jiwa yang merepresentasikan nilai-nilai yang di dalamnya terdapat militansi, kehormatan, dan kebanggaan tatkala mengenakan jersey sebuah klub sepakbola.
Hariono pula yang menjadi jawaban atas apa yang akhir-akhir ini nyaris sulit ditemukan: Dia membela, dan pasang badan untuk pemain muda, menghargai (dengan mengejawantahkan karakter someah sebaik-baiknya), dan bersikap seadanya. Tara rupa-rupa.
Saat iming-iming pendapatan yang berlimpah di usia senja menjadi pertimbangan penting bagi pemain lain, Hariono tidak bergeming. Sungguh suatu anomali di era sepakbola industri, yang mana kesetiaan — terhadap satu klub— kerap dianggap sebuah mitologi yang acapkali dipersetankan kebutuhan (atau tuntutan kehidupan). Dengan kata lain, adalah suatu hal yang nyaris sulit ditemui pada pesepakbola lain di jaman kiwari.
Hariono, adalah seorang yang tidak terlalu mementingkan popularitas dan nilai-nilai berbau pengakuan. Dia mengajarkan sebuah kesederhanaan dan nilai-nilai lainnya lewat sepakbola.
Kita bisa saja meragukan klaim Maradona yang mengaku pernah diculik oleh UFO selama tiga hari, dan berbicara dengan alien. Namun, untuk meragukan klaim Hariono yang menyatakan keinginnya untuk pensiun di Persib?
Sungguh tidak bisa.
Terbukti pada suatu momen, di bulan Desember, saat hujan rutin hadir di kota Kembang. Sore itu, Hariono mengutarakan perpisahannya secara emosional. Ribuan bobotoh yang menyaksikannya, tentu sukar untuk menghindar dari kegetiran. Dosis kepiluan yang mengiringi momen perpisahan, bakal sulit diterjemahkan pada bahasa kedokteran. Berbagai inspirasi yang telah dipancarkannya, niscaya sulit untuk dilupakan.
Dan untuk lebih mewarnai momen perpisahan itulah, catatan pendek ini dibuat. Sebab, laki-laki pemalu kerap menyimpan segala sesuatu dalam ruang sembunyi yang sulit ditemui.
Ditulis oleh Yogi Esa Sukma Nugraha
Komentar Bobotoh