(Arena Bobotoh) Memaknai Final Ideal..
Thursday, 22 April 2021 | 09:52
Dalam hitungan beberapa jam ke depan, perbincangan mengenai laga final Piala Menpora, bakal menghiasi media sosial. Laga final akan mempertemukan kedua tim yang cukup dinanti-nanti oleh banyak publik sepakbola. Meski, harus diakui, dukungan yang berapi-api dari masing-masing pendukung kesebelasan tak jarang mendekati kekerasan dan kekacauan. Yang layak digarisbawahi, fenomena kekacauan yang terjadi merupakan persoalan kompleks yang sulit didasarkan pada faktor tunggal. Suatu hal yang dimungkinkan bisa diselesaikan secara struktural.
Maka itu, tulisan ini hanya berupaya memaknai laga final yang dalam waktu dekat akan segera dimulai. Tentu dalam kenyataan yang sepenuhnya berbeda, oleh sebab indikasi pandemi yang penyebarannya masih tinggi.
Target segera direvisi: kalah bukan opsi
Sebelumnya, seperti yang telah dirilis di berbagai media, Persib memaknai Piala Menpora ini sesuai esensi turnamen pramusim pada umumnya. Persib menolak mengejar target juara. Menurut coach Robert Alberts, Piala Menpora adalah sarana untuk mencari kebahagiaan para pemainnya setelah setahun absen bermain sepak bola. [1] Sebagaimana pramusim pada umumnya, yang dipakai untuk menentukan kerangka, strategi dan pola permainan. Dan memang selayaknya demikian. Santai, weh, bray. Begitu kira-kira tanggapan coach Roberts Alberts.
Akan tetapi —tanpa bermaksud menyalahartikan anggapan bahwa final nanti sebagai turnamen serius, kan, mayoritas sudah tau bahwa sifatnya hanya uji coba biasa saja. Bahkan enggan untuk menganggap gelar juara Piala Menpora sebagai gelar prestisius. Hanya saja— kali ini, yang jadi lawan di final adalah klub Ibu kota. Klub sepakbola yang diasumsikan rival: persaingan yang secara organik lahir sebagai manifestasi sepakbola kontemporer; yang secara inheren mendorong insting perseteruan karena hanya menyediakan satu pemenang dalam sebuah kompetisi sepakbola; menjadi arena konkrit seperti yang disebut —Darmanto Simaepa, dalam tulisannya yang merujuk Rene Girard— sebagai rivalitas mimesis.
Tentu saja motif dasarnya sangat jauh berbeda dengan asal-muasal pertentangan suporter di Eropa yang dilatarbelakangi aspek ideologis, kelas sosial, budaya, peperangan, bahkan agama. Dengan demikian, laga final kali ini, hanya mungkin bisa diasumsikan, memiliki tendensi dalam persoalan kompetitif beberapa musim sebelumnya dan pertemuan di lapangan.
Lagipula, belakangan ini, banyak orang yang terdampak persoalan wabah corona. Tak sedikit yang frustasi menghadapi segala bentuk ketidakpastian, yang salah satunya dicemari lewat pergulatan gagasan berbau konspirasi, untuk kemudian uring-uringan merasa terhina karena asumsinya mengenai kematian Hitler di Wanaraja tak juga diterima mayoritas temannya.
Ini sungguh saat-saat yang berat bagi kebanyakan umat manusia. Bahkan otoritas tertinggi sepakbola dalam negeri mengkonfirmasi bahwa keadaan finansialnya sedang merugi. [2]
Oleh karena dunia sedang kurang menyenangkan, maka wajar saja banyak orang membutuhkan penebusan. Maka itu, alangkah teganya apabila ada yang melarang orang untuk menumpukan harapan pada klub sepakbola kebanggaannya. Meskipun, berlebihan memberikan dukungan, berlebihan menitipkan harapan, berlebihan membuat ekspektasi juga bisa diasumsikan tindakan tak tahu diri. Mendukung dan berharap dengan sewajarnya, sepantasnya, tentu bakal lebih terlihat elegan.
Tapi, langkah menjadi suporter bijak itu cukup sukar (kalau bijak, cerdas pula, kita tak akan jadi suporter bola tapi jadi pelatih weh atuh sakalian, ya, kan?).
Untuk itu, sekurang-kurangnya, atau setidaknya untuk kali ini saja, bahwa juara itu bukan soal. Terpenting, persija kalah.
Pandemi mengafirmasi laga final berjalan nir-kekerasan.
Dalam situasi pandemi seperti sekarang ini, sepakbola yang sebelumnya sama sekali alpa, membuat pengelola liga di berbagai negara harus beradaptasi. Yang paling memungkinkan, dan signifikan, tentu saja memutuskan untuk menyelenggarakan pertandingan tanpa kehadiran pendukungnya. Oleh karena itu, laga final Piala Menpora ini kemungkinan bakal aman tanpa harus mengerahkan pengamanan Bubble Match seperti di Inggris raya, misalnya. Untuk sementara, kekhawatiran yang kerap mewujud bentrokan, kemungkinan akan teratasi tanpa mesti meredefinisi makna rivalitas itu sendiri. Tagar #dukungdarirumah bisa sekaligus dimaknai sebagai bentuk ikhtiar masif untuk mereduksi gesekan antar kedua pihak yang secara faktual punya energi yang besar.
Bahkan persaingan di tengah pandemi ini memungkinkan untuk memberi lebih dorongan daya cipta. Seperti halnya hikayat rivalitas mimesis yang mendorong lahirnya temuan ilmiah dan inovasi teknologi. Basis suporter besar dan representasi dari kota gila sepakbola terbukti bisa menjadi modal utama yang melahirkan terobosan-terobosan di luar lapangan. Dalam hal ini, kawan-kawan cukup melihat cuitan akun twitter @historyofpersib yang belakangan ini merilis temuan data sejarah mutakhirnya menyoal rentetan pertandingan persib dengan persija sejak dari era lampau.
Pada konteks lainnya, nuansa persaingan kemungkinan hanya akan mewujud dalam adu cuitan di sosial media —yang mana bakal bersandingan dengan warganet lainnya yang sedang menuntut dan memperdebatkan soal yang lebih fundamental seperti jaminan kesehatan, pendidikan, keamanan publik, serta isu strategis lainnya yang terdampak pandemi corona. Selain, tentu saja, beririsan dengan penggemar garis keras sinetron Ikatan Cinta di rumah.
Dalam arti itulah, pertemuan ini layak dibilang final yang betul-betul ideal. Sebab pandemi mengafirmasi kemungkinan laga final bakal berjalan nir-kekerasan di luar lapangan..
Hanya untuk kegembiraan
Kini, kedua tim dipertemukan dalam momen yang sepenuhnya berbeda dengan, misalnya, turnamen Piala Jusuf 2007 silam yang berakhir imbang. [3] Dalam waktu dekat, adalah saat dimana suatu pertemuan akan menghadirkan ambang batas antara kalah dan menang, dimana semuanya ingin klimaks yang memuaskan —sebagaimana dulu Bekamenga melengkapi brace-nya untuk memastikan Persib menang 3-0 atas Persija, empat belas tahun silam.
Seperti yang kita semua tau, bahwa Persib adalah klub asal kota dengan jiwa sepakbola yang bergelora. Klub yang menghasilkan legenda, yang dulunya diriwayatkan dari mulut ke mulut, disiarkan dari corong radio, diabadikan dalam memori tayangan televisi, yang lantas semuanya selalu diceritakan kembali dan kembali tanpa henti, nyaris setiap hari. Semboyan “Nista, maja, utama” yang digaungkan pendahulu kita, kerap hadir di setiap momentumnya. Untuk menjadi bagian dari kisah ini, para pemain sekarang hanya perlu mencetak gol fantastis atau tampil baik di pertandingan penting. Dengan itu saja, cukup sudah untuk dikenang dalam rentang waktu panjang.
Dan setelah lebih kurang setahun lamanya kehilangan momen-momen emosional, kini publik sepakbola kota kembang dihadapkan pada dua pilihan: kegembiraan atau kemuraman.
Tentunya pilihan pertama layak dipersembahkan. Bral, geura miang.
Artikel ditulis oleh seorang bobotoh bernama Yogi Esa Sukma Nugraha, dengan akun Twitter @yogiesasukman.
***
Referensi:
[1]. https://www.bola.com/indonesia/read/4523717/persib-memaknai-piala-menpora-sesuai-esensi-turnamen-pramusim
[2]. https://www.pssi.org/news/kompetisi-tak-bergulir-kerugian-ekonomi-capai-rp-3-triliun
[3]. https://sport.detik.com/sepakbola/liga-indonesia/d-728479/persija–persib-imbang-tanpa-gol

Dalam hitungan beberapa jam ke depan, perbincangan mengenai laga final Piala Menpora, bakal menghiasi media sosial. Laga final akan mempertemukan kedua tim yang cukup dinanti-nanti oleh banyak publik sepakbola. Meski, harus diakui, dukungan yang berapi-api dari masing-masing pendukung kesebelasan tak jarang mendekati kekerasan dan kekacauan. Yang layak digarisbawahi, fenomena kekacauan yang terjadi merupakan persoalan kompleks yang sulit didasarkan pada faktor tunggal. Suatu hal yang dimungkinkan bisa diselesaikan secara struktural.
Maka itu, tulisan ini hanya berupaya memaknai laga final yang dalam waktu dekat akan segera dimulai. Tentu dalam kenyataan yang sepenuhnya berbeda, oleh sebab indikasi pandemi yang penyebarannya masih tinggi.
Target segera direvisi: kalah bukan opsi
Sebelumnya, seperti yang telah dirilis di berbagai media, Persib memaknai Piala Menpora ini sesuai esensi turnamen pramusim pada umumnya. Persib menolak mengejar target juara. Menurut coach Robert Alberts, Piala Menpora adalah sarana untuk mencari kebahagiaan para pemainnya setelah setahun absen bermain sepak bola. [1] Sebagaimana pramusim pada umumnya, yang dipakai untuk menentukan kerangka, strategi dan pola permainan. Dan memang selayaknya demikian. Santai, weh, bray. Begitu kira-kira tanggapan coach Roberts Alberts.
Akan tetapi —tanpa bermaksud menyalahartikan anggapan bahwa final nanti sebagai turnamen serius, kan, mayoritas sudah tau bahwa sifatnya hanya uji coba biasa saja. Bahkan enggan untuk menganggap gelar juara Piala Menpora sebagai gelar prestisius. Hanya saja— kali ini, yang jadi lawan di final adalah klub Ibu kota. Klub sepakbola yang diasumsikan rival: persaingan yang secara organik lahir sebagai manifestasi sepakbola kontemporer; yang secara inheren mendorong insting perseteruan karena hanya menyediakan satu pemenang dalam sebuah kompetisi sepakbola; menjadi arena konkrit seperti yang disebut —Darmanto Simaepa, dalam tulisannya yang merujuk Rene Girard— sebagai rivalitas mimesis.
Tentu saja motif dasarnya sangat jauh berbeda dengan asal-muasal pertentangan suporter di Eropa yang dilatarbelakangi aspek ideologis, kelas sosial, budaya, peperangan, bahkan agama. Dengan demikian, laga final kali ini, hanya mungkin bisa diasumsikan, memiliki tendensi dalam persoalan kompetitif beberapa musim sebelumnya dan pertemuan di lapangan.
Lagipula, belakangan ini, banyak orang yang terdampak persoalan wabah corona. Tak sedikit yang frustasi menghadapi segala bentuk ketidakpastian, yang salah satunya dicemari lewat pergulatan gagasan berbau konspirasi, untuk kemudian uring-uringan merasa terhina karena asumsinya mengenai kematian Hitler di Wanaraja tak juga diterima mayoritas temannya.
Ini sungguh saat-saat yang berat bagi kebanyakan umat manusia. Bahkan otoritas tertinggi sepakbola dalam negeri mengkonfirmasi bahwa keadaan finansialnya sedang merugi. [2]
Oleh karena dunia sedang kurang menyenangkan, maka wajar saja banyak orang membutuhkan penebusan. Maka itu, alangkah teganya apabila ada yang melarang orang untuk menumpukan harapan pada klub sepakbola kebanggaannya. Meskipun, berlebihan memberikan dukungan, berlebihan menitipkan harapan, berlebihan membuat ekspektasi juga bisa diasumsikan tindakan tak tahu diri. Mendukung dan berharap dengan sewajarnya, sepantasnya, tentu bakal lebih terlihat elegan.
Tapi, langkah menjadi suporter bijak itu cukup sukar (kalau bijak, cerdas pula, kita tak akan jadi suporter bola tapi jadi pelatih weh atuh sakalian, ya, kan?).
Untuk itu, sekurang-kurangnya, atau setidaknya untuk kali ini saja, bahwa juara itu bukan soal. Terpenting, persija kalah.
Pandemi mengafirmasi laga final berjalan nir-kekerasan.
Dalam situasi pandemi seperti sekarang ini, sepakbola yang sebelumnya sama sekali alpa, membuat pengelola liga di berbagai negara harus beradaptasi. Yang paling memungkinkan, dan signifikan, tentu saja memutuskan untuk menyelenggarakan pertandingan tanpa kehadiran pendukungnya. Oleh karena itu, laga final Piala Menpora ini kemungkinan bakal aman tanpa harus mengerahkan pengamanan Bubble Match seperti di Inggris raya, misalnya. Untuk sementara, kekhawatiran yang kerap mewujud bentrokan, kemungkinan akan teratasi tanpa mesti meredefinisi makna rivalitas itu sendiri. Tagar #dukungdarirumah bisa sekaligus dimaknai sebagai bentuk ikhtiar masif untuk mereduksi gesekan antar kedua pihak yang secara faktual punya energi yang besar.
Bahkan persaingan di tengah pandemi ini memungkinkan untuk memberi lebih dorongan daya cipta. Seperti halnya hikayat rivalitas mimesis yang mendorong lahirnya temuan ilmiah dan inovasi teknologi. Basis suporter besar dan representasi dari kota gila sepakbola terbukti bisa menjadi modal utama yang melahirkan terobosan-terobosan di luar lapangan. Dalam hal ini, kawan-kawan cukup melihat cuitan akun twitter @historyofpersib yang belakangan ini merilis temuan data sejarah mutakhirnya menyoal rentetan pertandingan persib dengan persija sejak dari era lampau.
Pada konteks lainnya, nuansa persaingan kemungkinan hanya akan mewujud dalam adu cuitan di sosial media —yang mana bakal bersandingan dengan warganet lainnya yang sedang menuntut dan memperdebatkan soal yang lebih fundamental seperti jaminan kesehatan, pendidikan, keamanan publik, serta isu strategis lainnya yang terdampak pandemi corona. Selain, tentu saja, beririsan dengan penggemar garis keras sinetron Ikatan Cinta di rumah.
Dalam arti itulah, pertemuan ini layak dibilang final yang betul-betul ideal. Sebab pandemi mengafirmasi kemungkinan laga final bakal berjalan nir-kekerasan di luar lapangan..
Hanya untuk kegembiraan
Kini, kedua tim dipertemukan dalam momen yang sepenuhnya berbeda dengan, misalnya, turnamen Piala Jusuf 2007 silam yang berakhir imbang. [3] Dalam waktu dekat, adalah saat dimana suatu pertemuan akan menghadirkan ambang batas antara kalah dan menang, dimana semuanya ingin klimaks yang memuaskan —sebagaimana dulu Bekamenga melengkapi brace-nya untuk memastikan Persib menang 3-0 atas Persija, empat belas tahun silam.
Seperti yang kita semua tau, bahwa Persib adalah klub asal kota dengan jiwa sepakbola yang bergelora. Klub yang menghasilkan legenda, yang dulunya diriwayatkan dari mulut ke mulut, disiarkan dari corong radio, diabadikan dalam memori tayangan televisi, yang lantas semuanya selalu diceritakan kembali dan kembali tanpa henti, nyaris setiap hari. Semboyan “Nista, maja, utama” yang digaungkan pendahulu kita, kerap hadir di setiap momentumnya. Untuk menjadi bagian dari kisah ini, para pemain sekarang hanya perlu mencetak gol fantastis atau tampil baik di pertandingan penting. Dengan itu saja, cukup sudah untuk dikenang dalam rentang waktu panjang.
Dan setelah lebih kurang setahun lamanya kehilangan momen-momen emosional, kini publik sepakbola kota kembang dihadapkan pada dua pilihan: kegembiraan atau kemuraman.
Tentunya pilihan pertama layak dipersembahkan. Bral, geura miang.
Artikel ditulis oleh seorang bobotoh bernama Yogi Esa Sukma Nugraha, dengan akun Twitter @yogiesasukman.
***
Referensi:
[1]. https://www.bola.com/indonesia/read/4523717/persib-memaknai-piala-menpora-sesuai-esensi-turnamen-pramusim
[2]. https://www.pssi.org/news/kompetisi-tak-bergulir-kerugian-ekonomi-capai-rp-3-triliun
[3]. https://sport.detik.com/sepakbola/liga-indonesia/d-728479/persija–persib-imbang-tanpa-gol
