(Arena Bobotoh) Ketika Lisensi Pelatih Tidak Penting-Penting Amat
Sunday, 12 June 2016 | 19:17
“Of course, saya orang jujur, saya orang baik dan saya ingin membantu tim”. Tapi untuk hanya sekedar jujur, baik dan punya keinginan untuk membantu team di klub juara pertama Liga Indonesia, juara terakhir ISL dan juara di final Piala Presiden saja itu tidak cukup. Butuh mental yang kuat, untuk siap menerima tuntutan bobotoh yang selalu ingin menang & juara.
Team ini dibangun dari sejarah yang panjang, dari tradisi yang harus juara bagaimana pun cara bermainnya, bobotoh jarang atau bahkan tidak pernah mempermasalahkan itu, yang penting target setiap musim itu juara. Dan untuk juara itu butuh menang, dan untuk menang itu harus mencetak gol bukan hanya membuat banyak peluang “kamu lihat kita tadi main bagus buat banyak peluang” lalu buat apa banyak peluang tapi tidak bisa menjadi gol & tidak memberikan sebuah kemenangan. Selama puncak klasemen itu masih dilihat dari point terbanyak yang dihasilkan dari kemenangan, of course coach, kita ingin menang, kita ingin juara.
Kita butuh pelatih yang bisa menghadirkan kemenangan dan tentu saja gelar juara. saya sangat setuju sekali dengan pernyataan terakhir di press confrence, “team ini butuh orang baru, tidak bisa menerima result seperti ini karena ini tim besar dan sekali lagi ini team besar”. Ya memang harusnya seperti itu, kenapa baru sadar sekarang ketika di Bhayangkara Cup saja sudah keteteran dan di awal kompetisi hanya bisa menghasilkan hasil yang seperti ini. Ketika, awal perkenalan di Stadion Siliwangi melawan Bali United, luar biasa sekali, hormat saya buat anda, coach. Wajar saja jika kita mempunyai dan harapan dan ekspektasi yang tinggi. Dan anda gagal menjawab semua itu.
Tenang saja anda bukan pelatih asing pertama yang mendapat hal seperti ini. Arcan Iurie, pelatih dengan titel finalis Liga & Copa Indonesia dengan Persija di tahun yang sama sempat stress melihat capaian Persib diputaran kedua, padahal kita bisa juara setengah musim bahkan pernah harus meminum obat penenang yang hanya bisa didapatkan khusus di kedutaan Rusia. Belum lagi duet Daniel Darko dan Jovo yang saya malas untuk membahas kedua orang ini, polemik di pra musim, masuk awal kompetisi buruk sekali dan ya, out. Maaf, mungkin ada tempat yang lebih baik untuk anda-anda semua, tapi sepertinya belum saatnya dan atau bahkan memang bukan disini.
Klub ini dibangun dari tekanan yang besar, dari kritik yang hampir setiap hari menghiasi media. Butuh pelatih yang siap menerima kultur sepakbola Bandung yang memang seperti ini. Tidak terlalu banyak bicara hal yang tidak penting, protes, menyalahkan wasit & hal non teknis lainnya. Wajar, di klub besar, yang memiliki suporter besar, di-manage oleh orang besar (Pak Glenn seorang busniesman kaya raya, perusahaannya ada dimana-mana, Pak Zaenuri mantan Pangdam III Siliwangi, Pak Kuswara seorang Advokat, Lawyer yang namanya sudah terkenal seantero Bandung, Pak Haji yang mempunyai rasa nyaah ka Persib nu moal aya duana. Belum lagi pak Risha operasional marketing yang luar biasa kinerjanya sampai direkrut oleh PT GTS) mempunyai sponsor dengan brand besar, tekanan juga besar. Maka, wajar bukan ketika dibayar dengan bayaran yang besar? Maka dari itu butuh hati yang besar juga untuk berada di klub ini.
Di sini rasanya lisensi tidak penting-penting amat, pak Djajang bisa menghadirkan gelar yang sudah hampir 20 tahun tidak pernah juara. Dia punya lisensi bagus? Tidak terlalu, hanya A Nasional saat itu. Butuh lisensi “guru” Emral Abus untuk berlaga di AFC Cup di kemudian hari. Dia tidak mendapat banyak tekanan? Tidak juga, bahkan lebih parah menurut saya sampai ada komentar facebook yang tidak lama kemdian dia hapus kembali. Tapi dia bisa menjawab semua tekanan & kritikan itu dengan proses yang menjadikan Persib lebih baik dari sebelumnya.
Pak Djajang juga punya standar kualifikasi pemain kelas tinggi, untuk mengcover duet Jupe-Vlado saja dia ingin Fachrudin Aryanto yang saat itu sedang dalam top flight bersama Madura, tapi gagal karena masalah klausul kontrak. Ingin Ricardo Salampesy yang tidak usah dijelaskan lagi siapa & bagaimana pemain ini, tapi gagal karena cidera yang berkepanjangan. Belasan striker datang dalam waktu sekitar satu bulan saja dia coret semua, mungkin saat itu dia akan bilang aku sih NO, ga tau mas Dejan. Itu menunjukan bahwa Persib itu tidak pantas dihuni oleh pemain biasa-biasa saja, jika saja pak Djajang masih disini dan mungkin akan kesini lagi, semoga saja… #23 #16 #99 tidak akan menjadi bahan olok-olok bobotoh sebab mereka hampir dipastikan (menurut saya pribadi) tidak akan masuk standard kualifiaksi kelas tinggi ala pak Djadjang, karena kualitas mereka jauh dibawah pemain sebelumnya seperti Dado, Spaso dan Abdul Rahman sekalipun yang sukses di Sabah, Melaka dan nama terakhir sukses di Timor Leste saya lupa nama klubnya, pokoknya warna jerseynya bodas-belang hejo.
Menyebalkan sekali bagi mereka yang selalu bilang kita belum move on dan kapan mau move on jika terus membicarakan atau membahas mantan-mantan pemain yang telah memberikan kesan berupa kemenangan, gelar & kebanggan itu. Sadar tidak sadar, diakui atau tidak bahwa sebenarnya kualitas kita turun, standar kita turun, klasemen kita turun. Dan lebih menyebalkan lagi ketika kita mencoba memberikan kritik banyak sekali orang yang mempertanyakan loyalitas, kesetiaan, manah dan lain sebagainya persetan dengan kutipan jangan bersorak ketika menang jika tidak ada disaat kalah.
Saya berhak bersorak di saat nanti kita akan menang (lagi) karena saya ada melalui kritikan di saat kalah!
Penulis masih setia ngetwit di @rafigumbira disaat teman-temanya sudah ngregram di Instagram dan ngerepath di Path.

“Of course, saya orang jujur, saya orang baik dan saya ingin membantu tim”. Tapi untuk hanya sekedar jujur, baik dan punya keinginan untuk membantu team di klub juara pertama Liga Indonesia, juara terakhir ISL dan juara di final Piala Presiden saja itu tidak cukup. Butuh mental yang kuat, untuk siap menerima tuntutan bobotoh yang selalu ingin menang & juara.
Team ini dibangun dari sejarah yang panjang, dari tradisi yang harus juara bagaimana pun cara bermainnya, bobotoh jarang atau bahkan tidak pernah mempermasalahkan itu, yang penting target setiap musim itu juara. Dan untuk juara itu butuh menang, dan untuk menang itu harus mencetak gol bukan hanya membuat banyak peluang “kamu lihat kita tadi main bagus buat banyak peluang” lalu buat apa banyak peluang tapi tidak bisa menjadi gol & tidak memberikan sebuah kemenangan. Selama puncak klasemen itu masih dilihat dari point terbanyak yang dihasilkan dari kemenangan, of course coach, kita ingin menang, kita ingin juara.
Kita butuh pelatih yang bisa menghadirkan kemenangan dan tentu saja gelar juara. saya sangat setuju sekali dengan pernyataan terakhir di press confrence, “team ini butuh orang baru, tidak bisa menerima result seperti ini karena ini tim besar dan sekali lagi ini team besar”. Ya memang harusnya seperti itu, kenapa baru sadar sekarang ketika di Bhayangkara Cup saja sudah keteteran dan di awal kompetisi hanya bisa menghasilkan hasil yang seperti ini. Ketika, awal perkenalan di Stadion Siliwangi melawan Bali United, luar biasa sekali, hormat saya buat anda, coach. Wajar saja jika kita mempunyai dan harapan dan ekspektasi yang tinggi. Dan anda gagal menjawab semua itu.
Tenang saja anda bukan pelatih asing pertama yang mendapat hal seperti ini. Arcan Iurie, pelatih dengan titel finalis Liga & Copa Indonesia dengan Persija di tahun yang sama sempat stress melihat capaian Persib diputaran kedua, padahal kita bisa juara setengah musim bahkan pernah harus meminum obat penenang yang hanya bisa didapatkan khusus di kedutaan Rusia. Belum lagi duet Daniel Darko dan Jovo yang saya malas untuk membahas kedua orang ini, polemik di pra musim, masuk awal kompetisi buruk sekali dan ya, out. Maaf, mungkin ada tempat yang lebih baik untuk anda-anda semua, tapi sepertinya belum saatnya dan atau bahkan memang bukan disini.
Klub ini dibangun dari tekanan yang besar, dari kritik yang hampir setiap hari menghiasi media. Butuh pelatih yang siap menerima kultur sepakbola Bandung yang memang seperti ini. Tidak terlalu banyak bicara hal yang tidak penting, protes, menyalahkan wasit & hal non teknis lainnya. Wajar, di klub besar, yang memiliki suporter besar, di-manage oleh orang besar (Pak Glenn seorang busniesman kaya raya, perusahaannya ada dimana-mana, Pak Zaenuri mantan Pangdam III Siliwangi, Pak Kuswara seorang Advokat, Lawyer yang namanya sudah terkenal seantero Bandung, Pak Haji yang mempunyai rasa nyaah ka Persib nu moal aya duana. Belum lagi pak Risha operasional marketing yang luar biasa kinerjanya sampai direkrut oleh PT GTS) mempunyai sponsor dengan brand besar, tekanan juga besar. Maka, wajar bukan ketika dibayar dengan bayaran yang besar? Maka dari itu butuh hati yang besar juga untuk berada di klub ini.
Di sini rasanya lisensi tidak penting-penting amat, pak Djajang bisa menghadirkan gelar yang sudah hampir 20 tahun tidak pernah juara. Dia punya lisensi bagus? Tidak terlalu, hanya A Nasional saat itu. Butuh lisensi “guru” Emral Abus untuk berlaga di AFC Cup di kemudian hari. Dia tidak mendapat banyak tekanan? Tidak juga, bahkan lebih parah menurut saya sampai ada komentar facebook yang tidak lama kemdian dia hapus kembali. Tapi dia bisa menjawab semua tekanan & kritikan itu dengan proses yang menjadikan Persib lebih baik dari sebelumnya.
Pak Djajang juga punya standar kualifikasi pemain kelas tinggi, untuk mengcover duet Jupe-Vlado saja dia ingin Fachrudin Aryanto yang saat itu sedang dalam top flight bersama Madura, tapi gagal karena masalah klausul kontrak. Ingin Ricardo Salampesy yang tidak usah dijelaskan lagi siapa & bagaimana pemain ini, tapi gagal karena cidera yang berkepanjangan. Belasan striker datang dalam waktu sekitar satu bulan saja dia coret semua, mungkin saat itu dia akan bilang aku sih NO, ga tau mas Dejan. Itu menunjukan bahwa Persib itu tidak pantas dihuni oleh pemain biasa-biasa saja, jika saja pak Djajang masih disini dan mungkin akan kesini lagi, semoga saja… #23 #16 #99 tidak akan menjadi bahan olok-olok bobotoh sebab mereka hampir dipastikan (menurut saya pribadi) tidak akan masuk standard kualifiaksi kelas tinggi ala pak Djadjang, karena kualitas mereka jauh dibawah pemain sebelumnya seperti Dado, Spaso dan Abdul Rahman sekalipun yang sukses di Sabah, Melaka dan nama terakhir sukses di Timor Leste saya lupa nama klubnya, pokoknya warna jerseynya bodas-belang hejo.
Menyebalkan sekali bagi mereka yang selalu bilang kita belum move on dan kapan mau move on jika terus membicarakan atau membahas mantan-mantan pemain yang telah memberikan kesan berupa kemenangan, gelar & kebanggan itu. Sadar tidak sadar, diakui atau tidak bahwa sebenarnya kualitas kita turun, standar kita turun, klasemen kita turun. Dan lebih menyebalkan lagi ketika kita mencoba memberikan kritik banyak sekali orang yang mempertanyakan loyalitas, kesetiaan, manah dan lain sebagainya persetan dengan kutipan jangan bersorak ketika menang jika tidak ada disaat kalah.
Saya berhak bersorak di saat nanti kita akan menang (lagi) karena saya ada melalui kritikan di saat kalah!
Penulis masih setia ngetwit di @rafigumbira disaat teman-temanya sudah ngregram di Instagram dan ngerepath di Path.

Licensi mah teu perlu, seorang Muhammad Indra Tohir pelatih yg tdk punya licensi jadi tdk dihargai oleh PSSI tapi beliau adalah Dosen kepelatihan Di UPI lulusan S2.