Arena Bobotoh: Kepada Yth. Panpel Persib vs Persija
Monday, 30 January 2012 | 12:44Penulis: Rika Yunita
Pukul 17.15 WIB, aku dan suamiku terhimpit dalam kerumunan bobotoh yang sudah mengantri padat di depan pintu barat III stadion Si Jalak Harupat, saat Persib menjamu rival abadinya, Persija, di lanjutan Liga Super Indonesia 2011/2012, tanggal 29 Januari 2012 kemarin. Badan yang menggigil kedinginan diguyur hujan sepanjang perjalanan masih belum menyurutkan semangatku untuk tetap ‘keukeuh’ masuk ke dalam stadion.
Beberapa menit kemudian, bergerak saja belum, pintu masuk ditutup. Entah alasan apa yang membuat panpel melakukan itu. Padahal ratusan orang dalam antrian sudah menunjukkan tiketnya ke atas secara bersamaan. Dengan konsisi sulit sekali untuk bergerak maju ataupun mundur…akhirnya aku terpaksa memanjat pagar dengan bantuan seorang anggota TNI dan beberapa bobotoh yang dengan sukarela meminjamkan tangan dan bahunya. Aku menarik nafas lega setelah keluar dari kerumunan. Nampak bobotoh tanpa tiket sudah merangsek ke dalam antrian, lalu mulai mendobrak pintu. Ngeri aku melihat di depan sana masih ada seorang wanita hamil besar terjepit diantara mereka.
Aku mulai pasrah untuk tidak menyaksikan langsung pertandingan ini saat melihat bobotoh yang sudah masuk pun tak bisa sampai ke tribun. Mereka hanya bergerombol di dekat pintu masuknya. Lalu aku berjalan lunglai keluar dari gerbang. Melihat ke Pintu Barat Utama, lalu ke Pintu Barat I, kuhubungi beberapa orang teman yang berada di Tribun Timur. Kondisinya semua sama. Krodit, sesak, dan tak bisa masuk sampai tribun. Bahkan dua orang diantara mereka pingsan.
Miris aku melihatnya. Puluhan bobotoh dengan tiket di tangan mengumpat-umpat kecewa dan marah karena tak mendapat kesempatan untuk masuk. Sementara di gerbang masuk sana, ratusan bahkan mungkin ribuan bobotoh tanpa tiket mendobrak pintu lalu berebutan masuk. Rupanya panpel lebih memilih pintu dijebol bobotoh tak bertiket daripada membiarkan bobotoh dengan tiket resmi untuk masuk. Ya, pada saat pintu masuk ditutup tadi, antrian bobotoh dengan tiketpun masih padat. Lalu mengapa harus ditutup?
Alasan klasik jika mengatakan sulit untuk menertibkan masa yang sebanyak itu. Pertanyaannya adalah, mengapa keamanan 90% difokuskan hanya untuk di dalam stadion? Seyogyanya, panpel yang tahun ini digadang-gadang bisa ‘menyelenggarakan pertandingan dengan lebih baik’ juga memikirkan kondisi di luar stadion. Membuka pintu masuk untuk bobotoh tak bertiket menyelesaikan masalah? Lalu bagaimana dengan bobotoh yang rela membeli tiket dengan harga berlipat dari calo? Kalimat “Kaduhung meuli tiket, mending ngiluan ngajebol ari kieu mah” kerap kudengar dari perbincangan beberapa kerumunan bobotoh yang kecewa.
Bobotoh tanpa tiket itu tentu tak akan ngotot untuk memaksa masuk jika personil keamanan lebih tegas dan jumlahnya memadai. Kemana aparat keamanan yang katanya berjumlah sekitar 1.380 itu?
Entah siapa yang salah di sini. Bobotoh tanpa tiket, atas nama cintanya pada Persib rela berjalan kaki puluhan kilometer, rela kehujanan dan kepanasan, tapi kemudian melakukan hal-hal yang tak terpuji. Ah…itukah cinta?
Ataukah panpel? Yang dengan sukses bisa mengamankan kondisi di dalam stadion, tapi menelantarkan kondisi di luar dan melupakan kenyamanan bobotoh. Bukankah keuntungan panpel salahsatunya didapat dari penjualan tiket? Bagaimana jika semua bobotoh memutuskan untuk tidak membeli tiket dan menjebol pintu masuk?
Penulis berakun twitter di @rikayunita
Pendapat yang dinyatakan dalam karya ini sepenuhnya merupakan pendapat pribadi penulis, tidak mencerminkan pendapat redaksi Simamaung.

Penulis: Rika Yunita
Pukul 17.15 WIB, aku dan suamiku terhimpit dalam kerumunan bobotoh yang sudah mengantri padat di depan pintu barat III stadion Si Jalak Harupat, saat Persib menjamu rival abadinya, Persija, di lanjutan Liga Super Indonesia 2011/2012, tanggal 29 Januari 2012 kemarin. Badan yang menggigil kedinginan diguyur hujan sepanjang perjalanan masih belum menyurutkan semangatku untuk tetap ‘keukeuh’ masuk ke dalam stadion.
Beberapa menit kemudian, bergerak saja belum, pintu masuk ditutup. Entah alasan apa yang membuat panpel melakukan itu. Padahal ratusan orang dalam antrian sudah menunjukkan tiketnya ke atas secara bersamaan. Dengan konsisi sulit sekali untuk bergerak maju ataupun mundur…akhirnya aku terpaksa memanjat pagar dengan bantuan seorang anggota TNI dan beberapa bobotoh yang dengan sukarela meminjamkan tangan dan bahunya. Aku menarik nafas lega setelah keluar dari kerumunan. Nampak bobotoh tanpa tiket sudah merangsek ke dalam antrian, lalu mulai mendobrak pintu. Ngeri aku melihat di depan sana masih ada seorang wanita hamil besar terjepit diantara mereka.
Aku mulai pasrah untuk tidak menyaksikan langsung pertandingan ini saat melihat bobotoh yang sudah masuk pun tak bisa sampai ke tribun. Mereka hanya bergerombol di dekat pintu masuknya. Lalu aku berjalan lunglai keluar dari gerbang. Melihat ke Pintu Barat Utama, lalu ke Pintu Barat I, kuhubungi beberapa orang teman yang berada di Tribun Timur. Kondisinya semua sama. Krodit, sesak, dan tak bisa masuk sampai tribun. Bahkan dua orang diantara mereka pingsan.
Miris aku melihatnya. Puluhan bobotoh dengan tiket di tangan mengumpat-umpat kecewa dan marah karena tak mendapat kesempatan untuk masuk. Sementara di gerbang masuk sana, ratusan bahkan mungkin ribuan bobotoh tanpa tiket mendobrak pintu lalu berebutan masuk. Rupanya panpel lebih memilih pintu dijebol bobotoh tak bertiket daripada membiarkan bobotoh dengan tiket resmi untuk masuk. Ya, pada saat pintu masuk ditutup tadi, antrian bobotoh dengan tiketpun masih padat. Lalu mengapa harus ditutup?
Alasan klasik jika mengatakan sulit untuk menertibkan masa yang sebanyak itu. Pertanyaannya adalah, mengapa keamanan 90% difokuskan hanya untuk di dalam stadion? Seyogyanya, panpel yang tahun ini digadang-gadang bisa ‘menyelenggarakan pertandingan dengan lebih baik’ juga memikirkan kondisi di luar stadion. Membuka pintu masuk untuk bobotoh tak bertiket menyelesaikan masalah? Lalu bagaimana dengan bobotoh yang rela membeli tiket dengan harga berlipat dari calo? Kalimat “Kaduhung meuli tiket, mending ngiluan ngajebol ari kieu mah” kerap kudengar dari perbincangan beberapa kerumunan bobotoh yang kecewa.
Bobotoh tanpa tiket itu tentu tak akan ngotot untuk memaksa masuk jika personil keamanan lebih tegas dan jumlahnya memadai. Kemana aparat keamanan yang katanya berjumlah sekitar 1.380 itu?
Entah siapa yang salah di sini. Bobotoh tanpa tiket, atas nama cintanya pada Persib rela berjalan kaki puluhan kilometer, rela kehujanan dan kepanasan, tapi kemudian melakukan hal-hal yang tak terpuji. Ah…itukah cinta?
Ataukah panpel? Yang dengan sukses bisa mengamankan kondisi di dalam stadion, tapi menelantarkan kondisi di luar dan melupakan kenyamanan bobotoh. Bukankah keuntungan panpel salahsatunya didapat dari penjualan tiket? Bagaimana jika semua bobotoh memutuskan untuk tidak membeli tiket dan menjebol pintu masuk?
Penulis berakun twitter di @rikayunita
Pendapat yang dinyatakan dalam karya ini sepenuhnya merupakan pendapat pribadi penulis, tidak mencerminkan pendapat redaksi Simamaung.

mulai sekarang g usah beli tiket saja mending kita dobrak rame-rame
ek kumaha bener na tuda polisi ge iluan jadi calo… tiket nu kudu na di soekeun kalah di jual deui… urang saksi hirup ningali hareupeun panon pisan… BACA………… !!!!!!!!!!!!!!!!!
akh urang mah awal ngiri hynag nntn ka stadion tpi teu tiasa jauh.. ehh apal ktu mah jadi sieeen…
Panpel beralasan bahwa katanya pintu dijebol karena suasana diluar tdk kondusif. tp teu mikir kiut lamun diarasupkeun emangna jd kondusif nu di tribunna??? justru seeur kajadian penonton sepakbola yg cedera bahkan tewas karena berdesakan di dalam tribun. cik mikir!!!!!