(Arena Bobotoh) Jika Kalian Bukan Rival Kami, Lantas Kalian Siapa?
Saturday, 05 November 2016 | 13:17
Aku bingung harus memposisikan diriku sebagai apa di hadapan kalian. Aku diam, kalian menganggapku pecundang, aku melawan, kalian menuduhku sebagai pasukan perang yang tak suka perdamaian.
Jujur, aku tak tau pasti, karena alasan apa kalian memusuhiku? Aku juga tak mengerti, bagaimana bisa permusuhan absurd ini tercipta?
Apa karena kita beda suku? Sepengetahuanku, Nenek moyangku dan Kakek buyut kalian tak pernah terlibat konflik sedari dulu, bahkan menurut catatan sejarah, para pendahulu kita adalah saudara dekat yang hidup rukun berdampingan.
Karena harga diri kah? Harga diri macam apa yang kalian bela? Harga diri sebagai golongan yang paling ditakuti, atau harga diri sebagai kelompok yang selalu menang kelahi? Aah, aku tak pernah setuju dengan itu semua, karena sedegil apapun kalian mempertahankan harga diri sebagai sosok yang paling berani, kelak kalian juga pasti akan mati.
Apa mungkin karena jarak kita yang terlalu dekat, hingga percikan bara sekecil apapun akan cepat merambat menjadi api yang siap membakar dengan kobarnya? Please, jarak bukan alasan untuk kita saling bermusuhan. Bukankah hubungan asmara akan terasa lebih intim jika sudah tak ada jarak lagi di antara kita? Dan asal kalian tau, sudah ada ratusan kaum adam yang terselamatkan dari penyakit memalukan, akibat kedekatan jarak kita. Jakarta – Bandung adalah jawabnya!
Fanatisme? Kata itu yang kerap aku dengar sebagai argumen atas pembenaran ambigu dari permusuhan kita ini. Baiklah, aku akan coba mengerti alasan kalian memusuhiku, dan karena apa aku harus membenci kalian.
Tapi nyatanya, aku tak juga menemukan jawaban logis dari alasan fanatisme itu. Karena tak pernah ada teori apapun yang bisa menjawab kalau fanatisme itu harus seharga dengan nyawa. Lantas kemana lagi aku harus mencari jawaban atas pertanyaanku ini? “Apa mungkin jawabnya ada di ujung langit, yang aku hanya bisa pergi ke sana dengan seorang anak, anak yang tangkas dan juga pemberani”. (Aah sudahlah, kalimat yang bertanda kutif itu hanya akan bisa dimengerti oleh para pecinta Dragon Ball saja).
Sumpah, aku sudah muak dengan semua ini, aku benci dengan lemparan batu, aku jengah dengan hunusan pedang, aku murka dengan nyawa yang harus hilang. Aku menyaksikan langsung, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, karena aku berdomisili di titik batas antara aku dan kalian. Ya, aku tinggal di Bekasi. (Ingat, Bekasi. Bukan planet Bekasi!)
Maaf, tanpa sedikitpin bermaksud mendeskreditkan sang Comander sekaliber Mang Ayi Beutik, namun tampaknya fatwa beliau tentang kita tampaknya harus sedikit direvisi. Kalimat yang awalnya berbunyi “Biarkan permusuhan ini abadi”, kita ubah menjadi ” Biarkan rivalitas ini abadi”. Tentunya dengan persetujuan Pak Heru dan para pembesar Bobotoh lainnya. (Mohon ijin ya Pak).
Dengan itu, aku dan kalian tak perlu lagi berlempar batu dan saling bunuh, karena kita hanya sebatas rival bukan musuh, ingat, kita bukan lagi musuh yang harus saling bunuh!
Memimpikan hubungan kita menjadi mesra layaknya Romeo dan Juliet memang suatu yang mustahil untuk diwujudkan, selain karena sebagian besar di antara kita adalah kaum adam yang tak mungkin beradu anggar sesama kaum adam lain, juga karena sisi keegoismean kita pasti akan lebih tinggi dibanding apapun juga.
Aku dan kalian tak perlu saling berpeluk mesra di stadion, aku dan kalian tak mesti saling berangkulan merayakan kemenangan dan meratapi kekalahan tim kebanggan kita, aku dan kalian tak usah saling berbagi tempat duduk di tribun stadion. Yang aku harapkan cuma satu, aku dan kalian tak perlu lagi saling bunuh, karena kita sejatinya hanyalah rival 2X45 menit di tribun, bukan tentara yang harus saling bunuh di medan perang.
Note: Essay ini mencoba berdiri di dua kaki, sebagai Bobotoh dan Jakmania yang sudah mulai muak dengan permusuhan di antara kita.
Penulis adalah Bobotoh kelahiran Karawang yang saat ini mencari nafkah di Bekasi, jarang berkicau di akun twitter @idhay69 tapi aktif di facebook dengan akun Rijal (Abu Ghaida)

Aku bingung harus memposisikan diriku sebagai apa di hadapan kalian. Aku diam, kalian menganggapku pecundang, aku melawan, kalian menuduhku sebagai pasukan perang yang tak suka perdamaian.
Jujur, aku tak tau pasti, karena alasan apa kalian memusuhiku? Aku juga tak mengerti, bagaimana bisa permusuhan absurd ini tercipta?
Apa karena kita beda suku? Sepengetahuanku, Nenek moyangku dan Kakek buyut kalian tak pernah terlibat konflik sedari dulu, bahkan menurut catatan sejarah, para pendahulu kita adalah saudara dekat yang hidup rukun berdampingan.
Karena harga diri kah? Harga diri macam apa yang kalian bela? Harga diri sebagai golongan yang paling ditakuti, atau harga diri sebagai kelompok yang selalu menang kelahi? Aah, aku tak pernah setuju dengan itu semua, karena sedegil apapun kalian mempertahankan harga diri sebagai sosok yang paling berani, kelak kalian juga pasti akan mati.
Apa mungkin karena jarak kita yang terlalu dekat, hingga percikan bara sekecil apapun akan cepat merambat menjadi api yang siap membakar dengan kobarnya? Please, jarak bukan alasan untuk kita saling bermusuhan. Bukankah hubungan asmara akan terasa lebih intim jika sudah tak ada jarak lagi di antara kita? Dan asal kalian tau, sudah ada ratusan kaum adam yang terselamatkan dari penyakit memalukan, akibat kedekatan jarak kita. Jakarta – Bandung adalah jawabnya!
Fanatisme? Kata itu yang kerap aku dengar sebagai argumen atas pembenaran ambigu dari permusuhan kita ini. Baiklah, aku akan coba mengerti alasan kalian memusuhiku, dan karena apa aku harus membenci kalian.
Tapi nyatanya, aku tak juga menemukan jawaban logis dari alasan fanatisme itu. Karena tak pernah ada teori apapun yang bisa menjawab kalau fanatisme itu harus seharga dengan nyawa. Lantas kemana lagi aku harus mencari jawaban atas pertanyaanku ini? “Apa mungkin jawabnya ada di ujung langit, yang aku hanya bisa pergi ke sana dengan seorang anak, anak yang tangkas dan juga pemberani”. (Aah sudahlah, kalimat yang bertanda kutif itu hanya akan bisa dimengerti oleh para pecinta Dragon Ball saja).
Sumpah, aku sudah muak dengan semua ini, aku benci dengan lemparan batu, aku jengah dengan hunusan pedang, aku murka dengan nyawa yang harus hilang. Aku menyaksikan langsung, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, karena aku berdomisili di titik batas antara aku dan kalian. Ya, aku tinggal di Bekasi. (Ingat, Bekasi. Bukan planet Bekasi!)
Maaf, tanpa sedikitpin bermaksud mendeskreditkan sang Comander sekaliber Mang Ayi Beutik, namun tampaknya fatwa beliau tentang kita tampaknya harus sedikit direvisi. Kalimat yang awalnya berbunyi “Biarkan permusuhan ini abadi”, kita ubah menjadi ” Biarkan rivalitas ini abadi”. Tentunya dengan persetujuan Pak Heru dan para pembesar Bobotoh lainnya. (Mohon ijin ya Pak).
Dengan itu, aku dan kalian tak perlu lagi berlempar batu dan saling bunuh, karena kita hanya sebatas rival bukan musuh, ingat, kita bukan lagi musuh yang harus saling bunuh!
Memimpikan hubungan kita menjadi mesra layaknya Romeo dan Juliet memang suatu yang mustahil untuk diwujudkan, selain karena sebagian besar di antara kita adalah kaum adam yang tak mungkin beradu anggar sesama kaum adam lain, juga karena sisi keegoismean kita pasti akan lebih tinggi dibanding apapun juga.
Aku dan kalian tak perlu saling berpeluk mesra di stadion, aku dan kalian tak mesti saling berangkulan merayakan kemenangan dan meratapi kekalahan tim kebanggan kita, aku dan kalian tak usah saling berbagi tempat duduk di tribun stadion. Yang aku harapkan cuma satu, aku dan kalian tak perlu lagi saling bunuh, karena kita sejatinya hanyalah rival 2X45 menit di tribun, bukan tentara yang harus saling bunuh di medan perang.
Note: Essay ini mencoba berdiri di dua kaki, sebagai Bobotoh dan Jakmania yang sudah mulai muak dengan permusuhan di antara kita.
Penulis adalah Bobotoh kelahiran Karawang yang saat ini mencari nafkah di Bekasi, jarang berkicau di akun twitter @idhay69 tapi aktif di facebook dengan akun Rijal (Abu Ghaida)

Alus artikelna kang Idhay Rijal. Resep weh uing mah..nuhun ah.