(Arena Bobotoh) Ini Persib, Bung!!
Wednesday, 29 March 2017 | 12:57
Seorang teman yang sedang menyelesaikan program doktoral di Hochschule für Philosophie München-Jerman bersurat, menceritakan tentang Shalcke 04 (1904), klub yang memiliki sejarah panjang selang empat tahun setelah kelahiran Bayer Muenchen. Di kota Gelsenkirchen; markas besar Shalcke 04 menurutnya, tercatat rerata 61.570 penonton memadati Veltins-Arena setiap minggunya untuk menyaksikan tim kebanggaan mereka berjuang di Bundes Liga. Padahal kapasitas maksimal stadion hanya menampung 54.740 tempat duduk, bisa dibayangkan 6.830 orang berjejal entah seperti apa di dalam maupun di luar stadion untuk menyaksikan klub kehormatan mereka berjuang. Jumlah ini bahkan mengalahkan jumlah penonton dan kapasitas Allianz-Arena (71.137 seat) setiap kali Muenchen bertanding.
Panjang kali lebar kali tinggi teman satu ini bercerita bagaimana 20% total populasi sebuah kota terkumpul dan berpusat di sebuah stadion dua kali dalam satu minggu, sebagai bukti loyalitas tanpa batas untuk sebuah kehormatan yang mereka namakan Shalcke 04. Bagian yang menariknya adalah fakta bahwa hanya Shalcke 04 lah satu-satunya klub di Eropa yang memiliki Kapel untuk kepentingan ibadah fans-nya. Luasan kapel di dalam Veltins-Arena sama halnya dengan luasan yang disediakan untuk kepentingan ruang pameran, konser opera, fasilitas olah raga dalam ruang, lintasan uji coba olahraga bermotor.
Menurutnya hal ini dilakukan klub untuk menjaga religiusitas tim, sekaligus menjaga kesetiaan fans. Lebih lanjut ia menjelaskan semboyan fans Shalcke 04 “Blau und Weiß, ein Leben lang” yang berarti, biru putih (sesuai jersey utama Schalke 04) memiliki makna kesetiaan seumur hidup. Klub memberikan fasilitas terbaik sebagai ganjaran loyalitas fans, dari mulai layanan khusus bagi fans disable, harga tiket murah dan terjangkau, sampai dengan layanan konseling dan diskusi fans yang bertujuan memberikan pemahaman bahaya konsumsi narkoba, perilaku rasis dan layanan diskusi antar kelompok fans. Singkatnya, klub memberikan apapun yang dianggap menjadi kebutuhan mendasar fans, mengikat loyalitas fans dalam semangat religiusitas, menjadikan klub sebagai – mengutip apa yang dituliskannya- “agama baru” yang menjadikan klub sebagai gagasan keimanan.
Dalam surat ia menuliskan “Bisa dibilang, sepak bola adalah agama modern. Ia memiliki semua aspek religius, bahkan kerap bercampur dengan agama-agama pada umumnya. Lebih dari itu, ia menawarkan dua hal yang tak ada di dalam agama-agama, yakni kebebasan untuk memilih dan hiburan yang bersifat kolektif (menonton bersama di stadion). Ia mengikat orang ke dalam komunitas, dan menciptakan rasa kebersamaan (Gemeinschaftsgefühl). Namun, sama seperti agama-agama tradisional, ia juga bisa melahirkan konflik, kebencian dan perang.” Pada akhir surat, ia bertanya “Bagaimana dengan Persib, Bung?”. Inilah jawabannya.
Ini Persib, Bung. Loyalitas kami melebihi kemampuan tampung stadion manapun di Indonesia, daya jelajah kami melebihi batas administrasi kota-kota, lautan pernah dan akan kami arungi sepanjang ia mendedikasikan perjuangan untuk biru putih kebanggaan. Kami lahir tidak dari rahim populasi sebuah kota, kami tumbuh dan dibesarkan bersama dari nilai kehormatan yang diwariskan orang tua kami. Ini bukan sekedar ingatan yang dititipkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya, ini mengenai pemahaman dan pengetahuan kami tentang kehormatan, loyalitas dan amanat perjuangan.
Bahkan Bung, menjelang kasta tertinggi liga Indonesia, kami belum dapat memastikan stadion mana yang menjadi markas bagi klub. Kesetiaan bagi kami bukanlah tentang di stadion mana Persib mempersiapkan diri dan menghadapi lawannya di pertandingan. Percayalah Bung, seluas apapun, sebanyak kapasitas tampung stadion manapun, kesetiaan kami melebihi luasan dan kemampuan tampung stadion yang pernah di bangun manusia.
Ini Persib, Bung. Menjadi bagian dari perjalanan sejarahnya di liga negeri ini adalah kebanggaan tersendiri. Meski kami masih perlu antri berjam-jam lamanya hanya untuk mendapatkan tiket, beruntung itupun jika tak keburu habis digelapkan mafia yang jelang kick off menawarkan harga 3 kali lipat dari normalnya. Nama besar Guiseppe Sculli di liga Itali sana, masih kalah dengan mafia tiket di sini. Belum selesai sampai disitu, Bung. Memiliki tiket di tanganpun belum jaminan bagi kami untuk menjadi pemain ke-dua belas saat sebelas lainnya memulai pertandingan. Kami harus berdesakan dalam antrian acak memasuki gerbang stadion, peluh keringat bercampur terik matahari yang sesekali berganti guyuran hujan, bergilir satu per satu memasuki pagar gerbang yang hanya dibuka tidak lebih lebar dari ukuran badan. Sesekali kami didorong mundur oleh petugas yang acap kali berteriak berusaha menertibkan, bercampur aroma alkohol entah darimana asalnya. Sebentar Bung, belum selesai, lolos dari pagar gerbang tidak berarti kami dapat duduk nyaman, sebab seluruh tempat duduk terisi, bahkan sepanjang 90 menit banyak berdiri. Diantara kami ada yang cukup berbahagia dengan duduk bersandar sepanjang koridor dan tangga masuk
tribun, selama masih mendengarkan chant, cukuplah telinga kami mewakili kehadiran. Percayalah Bung, kehormatan kami melebihi harga tiket itu sendiri. Susah payah kami mendapatkan tiket dengan menyisihkan rupiah demi rupiah setiap hari, bahkan rela kami jual benda kesayangan hanya untuk hadir dalam sejarah Persib. Bangga rasanya mengorbankan sesuatu yang kami sayangi hanya untuk menyaksikan Persib, ada atau tanpa tiket bukan kendala.
Ini Persib, Bung. Sudah beruntung bagi kami disediakan mobile masjid di pelataran stadion, yang dapat kami gunakan untuk beribadah sebelum dan sesudah pertandingan. Luasan dan kapasitasnya jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan yang kamu ceritakan, namun di sana kami tundukan kepala memanjatkan doa untuk kemenangan klub, menghaturkan terima kasih sedalamdalamnya kepada Tuhan jika klub menang. Klub tidak menyediakan fasilitas ini, Bung. Ini kami dapatkan dari yayasan dermawan yang melihat kami sebagai entitas yang tunduk dan patuh atas kuasa Tuhan pada setiap pertandingan. Percayalah Bung, klub untuk kami bukanlah agama yang tidak mungkin salah, sehingga dosa jika kami mempertanyakan apalagi meragukan keputusan-keputusan manajemen. Kami akan tetap menjaga kewarasan berpikir sebagai kritik dan tanda kasih sayang kepada klub. Pelatih dan pemain bagi kami bukanlah malaikat yang jauh dari kesalahan.
Ini Persib, Bung. Pelatih dan pemain bagi kami bukanlah malaikat dan nabi yang jauh dari kesalahan. Bermacam lisensi dan status yang mereka miliki kami hargai, tanpa menutup mata hasil yang diperoleh dari pertandingan dan posisi klub di urutan juara liga. Label Marquee Player atau Designated Player berdasar Salary Cap tidak membutakan mata kami melihat kualitas permainan mereka di lapangan. Tidak ada nama pemain yang lebih besar dari klub itu sendiri. Percayalah Bung, bergabungnya Michel Essien dan Charlton Cole tidak lantas membuat kami berbangga diri dan percaya begitu saja juara sudah di depan mata. Kami akan tetap ada untuk mereka, dan kami tetap menjaga suara untuk meneriakinya jika mengecewakan kepercayaan yang kami berikan.
Ini Persib, Bung. Formasi 4-4-3, atau 4-4-2 dengan strategi false9 atau false10 dengan menempatkan seorang gelandang serang dan winger sebagai penyerang, bukanlah persoalan sepanjang kemenangan dapat kami rebut di setiap pertandingan. Jejak rekam statistik kami fahami sebagai angka berdasar ilmu pengetahuan, selebihnya bola bundar dimainkan di lapangan. Statistik bukanlah angka mistik yang bisa kami jadikan rujukan untuk memastikan kemenangan. Juara, cukup itu saja tujuannya.
Percayalah Bung, Back Four tangguh kami, kebugaran lini tengah kami yang akan terjaga dengan jumlah berlimpah untuk terus menyuplai umpan ke depan, dan insting predator striker murni kami, atau sayatan serangan dari winger kami, tidak menjadikan kami tenang sepanjang liga perjalanan liga ke depan. Kami akan tetap hadir sebagai bagian dari permainan mereka di lapangan, kami akan tetap meneriakan kritikan di luaran.
Kenapa seperti itu, Bung? Sebab Persib Jiwa Raga Kami.
Ditulis oleh Bobotoh dengan akun Twitter @ImronRosidin | Bobotoh Stasion Timur 20 | Coach On Board IMSA FC

Seorang teman yang sedang menyelesaikan program doktoral di Hochschule für Philosophie München-Jerman bersurat, menceritakan tentang Shalcke 04 (1904), klub yang memiliki sejarah panjang selang empat tahun setelah kelahiran Bayer Muenchen. Di kota Gelsenkirchen; markas besar Shalcke 04 menurutnya, tercatat rerata 61.570 penonton memadati Veltins-Arena setiap minggunya untuk menyaksikan tim kebanggaan mereka berjuang di Bundes Liga. Padahal kapasitas maksimal stadion hanya menampung 54.740 tempat duduk, bisa dibayangkan 6.830 orang berjejal entah seperti apa di dalam maupun di luar stadion untuk menyaksikan klub kehormatan mereka berjuang. Jumlah ini bahkan mengalahkan jumlah penonton dan kapasitas Allianz-Arena (71.137 seat) setiap kali Muenchen bertanding.
Panjang kali lebar kali tinggi teman satu ini bercerita bagaimana 20% total populasi sebuah kota terkumpul dan berpusat di sebuah stadion dua kali dalam satu minggu, sebagai bukti loyalitas tanpa batas untuk sebuah kehormatan yang mereka namakan Shalcke 04. Bagian yang menariknya adalah fakta bahwa hanya Shalcke 04 lah satu-satunya klub di Eropa yang memiliki Kapel untuk kepentingan ibadah fans-nya. Luasan kapel di dalam Veltins-Arena sama halnya dengan luasan yang disediakan untuk kepentingan ruang pameran, konser opera, fasilitas olah raga dalam ruang, lintasan uji coba olahraga bermotor.
Menurutnya hal ini dilakukan klub untuk menjaga religiusitas tim, sekaligus menjaga kesetiaan fans. Lebih lanjut ia menjelaskan semboyan fans Shalcke 04 “Blau und Weiß, ein Leben lang” yang berarti, biru putih (sesuai jersey utama Schalke 04) memiliki makna kesetiaan seumur hidup. Klub memberikan fasilitas terbaik sebagai ganjaran loyalitas fans, dari mulai layanan khusus bagi fans disable, harga tiket murah dan terjangkau, sampai dengan layanan konseling dan diskusi fans yang bertujuan memberikan pemahaman bahaya konsumsi narkoba, perilaku rasis dan layanan diskusi antar kelompok fans. Singkatnya, klub memberikan apapun yang dianggap menjadi kebutuhan mendasar fans, mengikat loyalitas fans dalam semangat religiusitas, menjadikan klub sebagai – mengutip apa yang dituliskannya- “agama baru” yang menjadikan klub sebagai gagasan keimanan.
Dalam surat ia menuliskan “Bisa dibilang, sepak bola adalah agama modern. Ia memiliki semua aspek religius, bahkan kerap bercampur dengan agama-agama pada umumnya. Lebih dari itu, ia menawarkan dua hal yang tak ada di dalam agama-agama, yakni kebebasan untuk memilih dan hiburan yang bersifat kolektif (menonton bersama di stadion). Ia mengikat orang ke dalam komunitas, dan menciptakan rasa kebersamaan (Gemeinschaftsgefühl). Namun, sama seperti agama-agama tradisional, ia juga bisa melahirkan konflik, kebencian dan perang.” Pada akhir surat, ia bertanya “Bagaimana dengan Persib, Bung?”. Inilah jawabannya.
Ini Persib, Bung. Loyalitas kami melebihi kemampuan tampung stadion manapun di Indonesia, daya jelajah kami melebihi batas administrasi kota-kota, lautan pernah dan akan kami arungi sepanjang ia mendedikasikan perjuangan untuk biru putih kebanggaan. Kami lahir tidak dari rahim populasi sebuah kota, kami tumbuh dan dibesarkan bersama dari nilai kehormatan yang diwariskan orang tua kami. Ini bukan sekedar ingatan yang dititipkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya, ini mengenai pemahaman dan pengetahuan kami tentang kehormatan, loyalitas dan amanat perjuangan.
Bahkan Bung, menjelang kasta tertinggi liga Indonesia, kami belum dapat memastikan stadion mana yang menjadi markas bagi klub. Kesetiaan bagi kami bukanlah tentang di stadion mana Persib mempersiapkan diri dan menghadapi lawannya di pertandingan. Percayalah Bung, seluas apapun, sebanyak kapasitas tampung stadion manapun, kesetiaan kami melebihi luasan dan kemampuan tampung stadion yang pernah di bangun manusia.
Ini Persib, Bung. Menjadi bagian dari perjalanan sejarahnya di liga negeri ini adalah kebanggaan tersendiri. Meski kami masih perlu antri berjam-jam lamanya hanya untuk mendapatkan tiket, beruntung itupun jika tak keburu habis digelapkan mafia yang jelang kick off menawarkan harga 3 kali lipat dari normalnya. Nama besar Guiseppe Sculli di liga Itali sana, masih kalah dengan mafia tiket di sini. Belum selesai sampai disitu, Bung. Memiliki tiket di tanganpun belum jaminan bagi kami untuk menjadi pemain ke-dua belas saat sebelas lainnya memulai pertandingan. Kami harus berdesakan dalam antrian acak memasuki gerbang stadion, peluh keringat bercampur terik matahari yang sesekali berganti guyuran hujan, bergilir satu per satu memasuki pagar gerbang yang hanya dibuka tidak lebih lebar dari ukuran badan. Sesekali kami didorong mundur oleh petugas yang acap kali berteriak berusaha menertibkan, bercampur aroma alkohol entah darimana asalnya. Sebentar Bung, belum selesai, lolos dari pagar gerbang tidak berarti kami dapat duduk nyaman, sebab seluruh tempat duduk terisi, bahkan sepanjang 90 menit banyak berdiri. Diantara kami ada yang cukup berbahagia dengan duduk bersandar sepanjang koridor dan tangga masuk
tribun, selama masih mendengarkan chant, cukuplah telinga kami mewakili kehadiran. Percayalah Bung, kehormatan kami melebihi harga tiket itu sendiri. Susah payah kami mendapatkan tiket dengan menyisihkan rupiah demi rupiah setiap hari, bahkan rela kami jual benda kesayangan hanya untuk hadir dalam sejarah Persib. Bangga rasanya mengorbankan sesuatu yang kami sayangi hanya untuk menyaksikan Persib, ada atau tanpa tiket bukan kendala.
Ini Persib, Bung. Sudah beruntung bagi kami disediakan mobile masjid di pelataran stadion, yang dapat kami gunakan untuk beribadah sebelum dan sesudah pertandingan. Luasan dan kapasitasnya jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan yang kamu ceritakan, namun di sana kami tundukan kepala memanjatkan doa untuk kemenangan klub, menghaturkan terima kasih sedalamdalamnya kepada Tuhan jika klub menang. Klub tidak menyediakan fasilitas ini, Bung. Ini kami dapatkan dari yayasan dermawan yang melihat kami sebagai entitas yang tunduk dan patuh atas kuasa Tuhan pada setiap pertandingan. Percayalah Bung, klub untuk kami bukanlah agama yang tidak mungkin salah, sehingga dosa jika kami mempertanyakan apalagi meragukan keputusan-keputusan manajemen. Kami akan tetap menjaga kewarasan berpikir sebagai kritik dan tanda kasih sayang kepada klub. Pelatih dan pemain bagi kami bukanlah malaikat yang jauh dari kesalahan.
Ini Persib, Bung. Pelatih dan pemain bagi kami bukanlah malaikat dan nabi yang jauh dari kesalahan. Bermacam lisensi dan status yang mereka miliki kami hargai, tanpa menutup mata hasil yang diperoleh dari pertandingan dan posisi klub di urutan juara liga. Label Marquee Player atau Designated Player berdasar Salary Cap tidak membutakan mata kami melihat kualitas permainan mereka di lapangan. Tidak ada nama pemain yang lebih besar dari klub itu sendiri. Percayalah Bung, bergabungnya Michel Essien dan Charlton Cole tidak lantas membuat kami berbangga diri dan percaya begitu saja juara sudah di depan mata. Kami akan tetap ada untuk mereka, dan kami tetap menjaga suara untuk meneriakinya jika mengecewakan kepercayaan yang kami berikan.
Ini Persib, Bung. Formasi 4-4-3, atau 4-4-2 dengan strategi false9 atau false10 dengan menempatkan seorang gelandang serang dan winger sebagai penyerang, bukanlah persoalan sepanjang kemenangan dapat kami rebut di setiap pertandingan. Jejak rekam statistik kami fahami sebagai angka berdasar ilmu pengetahuan, selebihnya bola bundar dimainkan di lapangan. Statistik bukanlah angka mistik yang bisa kami jadikan rujukan untuk memastikan kemenangan. Juara, cukup itu saja tujuannya.
Percayalah Bung, Back Four tangguh kami, kebugaran lini tengah kami yang akan terjaga dengan jumlah berlimpah untuk terus menyuplai umpan ke depan, dan insting predator striker murni kami, atau sayatan serangan dari winger kami, tidak menjadikan kami tenang sepanjang liga perjalanan liga ke depan. Kami akan tetap hadir sebagai bagian dari permainan mereka di lapangan, kami akan tetap meneriakan kritikan di luaran.
Kenapa seperti itu, Bung? Sebab Persib Jiwa Raga Kami.
Ditulis oleh Bobotoh dengan akun Twitter @ImronRosidin | Bobotoh Stasion Timur 20 | Coach On Board IMSA FC

Jadi carindakdak…?
Bung persib bung
Edan..ngabakar semangat kieu wa..
Mungkin sebagian orang menganggap artikel ini berlebihan. Saya rasa tidak bung.. karena apa bung? Kerena PERSIB Duriat Aing.