(Arena Bobotoh) Football Without Fans, is Fine!
Saturday, 10 April 2021 | 12:18
Terkesan provokatif memang judul artikel ini. Namun seperti halnya alur hidup yang butuh uji bertubi guna membentuk jiwa yang tangguh, pun begitu seharusnya dengan tulisan. Percik perdebatan sesekali perlu dimunculkan agar satu kesepakatan bulat lahir dari beberapa argumen yang tak melulu seragam.
Oke baiklah. Tulisan ini akan dimulai dari umpatan saya terhadap pandemi Covid-19 yang telah meluluhlantakan hampir seluruh sendi kehidupan di jagad semesta selama setahun terakhir ini. Adakah kata yang lebih hina dari kata bajingan untuk menggambarkan kebiadaban virus corona? Jika tidak, mari kita buat kesepakatan mula, bahwa corona itu bajingan. Benar-benar bajingan!
Sejak si bajingan merebak tak kenal kendali hingga berubah menjadi pandemi, seluruh kompetisi sepakbola di berbagai negara sontak dihentikan paksa. Ada beberapa liga yang kemudian dilanjutkan setelahnya karena hanya menyisakan sedikit laga, ada pula yang dibatalkan seperti halnya di Indonesia. Liga 1 dihenti-paksa saat laga baru memasuki putaran ketiga. Persib Bandung yang kala itu sedang superior terpaksa harus menghentikan kiprahnya lantaran pemerintah melarang bergulirnya liga dengan alasan untuk memutus mata rantai penyebaran virus corona.
Imbasnya, Indonesia yang tersohor dengan publik sepakbola yang menggila, dipaksa harus ‘berpuasa’ tanpa liga sepakbola (resmi) selama kurang lebih satu tahun lamanya. Bahkan ketika beberapa negara akhirnya sudah mulai mampu beradaptasi dengan corona dalam ihwal sepakbola, pemerintah Indonesia masih belum mau bergeming memberikan izin untuk kembali memutar kompetisi.
Setelah melewati jalan panjang nan berliku, pemerintah melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga, akhirnya mulai melunak. Izin kompetisi kemudian diteken dengan beberapa catatan, dan poin yang paling utama adalah, suporter tak diperkenankan hadir di dalam stadion untuk mendukung tim kebanggaannya berlaga.
Dari titik ini polemik mulai muncul, banyak pihak yang meragukan sepakbola akan tetap berlangsung meriah tanpa kehadiran suporter di stadion. Pendek kata; “Football without fans, is nothing!”
Tapi memaksakan suporter hadir bukanlah pilihan tepat di masa pandemi seperti saat ini.
Sebelum kompetisi resmi bertajuk Liga 1 2021 benar-benar dimulai, sebagai ajang pemanasan dan/atau lebih tepatnya sebagai upaya untuk mengecek kesiapan operator liga dan tim peserta, PSSI menggelar turnamen pramusim yang diberi tajuk Piala Menpora. Dengan penyelenggaraan turnamen tersebut, pemerintah akan menilai apakah mereka yang terlibat dalam kompetisi nantinya, mampu patuh terhadap protokol kesehatan atau tidak.
Dengan diikuti 17 tim peserta yang terbagi ke dalam 4 grup, Piala Menpora 2021 resmi memulai kick-off pada 21 Maret di Stadion Manahan Solo. Pertandingan antara Arema FC vs Persikabo 1973 didaulat sebagai laga pembuka.
Sampai di titik inipun, banyak pihak (termasuk saya) yang masih merasa pesimis akan penyelenggaraan turnamen Piala Menpora 2021. Apakah ia akan tetap berlangsung meriah serta menampilkan laga yang kompetitif, atau justru pertandingan hanya akan tersaji layaknya laga uji coba internal tim yang tanpa gairah dan membosankan. Faktor ketidakhadiran suporter di stadion jadi alasan paling krusial dalam hal ini. Karena dengan alasan apa dan bagaimanapun, suporter adalah ruh yang mampu menghidupkan jalannya laga. Meniadakan mereka dalam sepakbola, berarti mematikan gairah laga itu sendiri.
Namun di luar dugaan, walaupun tanpa hingar-bingar teriakan suporter, beberapa laga yang tersaji di gelaran turnamen Piala Menpora 2021 tetap berlangsung seru dan kompetitif. Sepakbola yang sarat drama tetap tersaji di lapangan, berbagai intrik serta emosi antar pemain tetap terjaga, kesigapan dan kealfaan wasit tetap menghiasi pertandingan, parade gol indah tetap menghibur dan tawa kemenangan serta tangis kekalahan tetap mewarnai laga demi laga.
Setidaknya hingga artikel ini ditulis, Piala Menpora telah menyelesaikan babak penyisihan grup dan satu pertandingan perempat final. Saya dan jutaan pecinta sepakbola Indonesia lainnya akhirnya kembali dapat menyaksikan hiburan yang telah lama kami nantikan, walaupun hanya dari layar kaca. Memang, mengesampingkan protokol kesehatan dengan tetap membiarkan suporter hadir dan berjubel di tribun stadion di tengah pandemi seperti saat ini, sama halnya dengan membuat kubangan bagi si virus bajingan itu untuk dapat menyebar secara lebih luas lagi.
Dalam hal ini, apresiasi tinggi layak disematkan pada pemegang hak siar televisi yang tetap mampu menghadirkan suara teriakan suporter sebagai pengganti kehadiran fisik para supporter di tribun stadion. Nyatanya kini, sepakbola bisa tetap berjalan baik serta menghibur walaupun tanpa kehadiran suporter. Tak apalah, ruh itu hilang dari peredaran sepakbola, untuk sementara.
Football without fans, is fine!
Ditulis oleh Lord Rijal, Football Writer serta Bobotoh yang sedang berkamoflase menjadi tukang wafer. Dapat ditemui di twitter dalam akun @LordRijal69

Terkesan provokatif memang judul artikel ini. Namun seperti halnya alur hidup yang butuh uji bertubi guna membentuk jiwa yang tangguh, pun begitu seharusnya dengan tulisan. Percik perdebatan sesekali perlu dimunculkan agar satu kesepakatan bulat lahir dari beberapa argumen yang tak melulu seragam.
Oke baiklah. Tulisan ini akan dimulai dari umpatan saya terhadap pandemi Covid-19 yang telah meluluhlantakan hampir seluruh sendi kehidupan di jagad semesta selama setahun terakhir ini. Adakah kata yang lebih hina dari kata bajingan untuk menggambarkan kebiadaban virus corona? Jika tidak, mari kita buat kesepakatan mula, bahwa corona itu bajingan. Benar-benar bajingan!
Sejak si bajingan merebak tak kenal kendali hingga berubah menjadi pandemi, seluruh kompetisi sepakbola di berbagai negara sontak dihentikan paksa. Ada beberapa liga yang kemudian dilanjutkan setelahnya karena hanya menyisakan sedikit laga, ada pula yang dibatalkan seperti halnya di Indonesia. Liga 1 dihenti-paksa saat laga baru memasuki putaran ketiga. Persib Bandung yang kala itu sedang superior terpaksa harus menghentikan kiprahnya lantaran pemerintah melarang bergulirnya liga dengan alasan untuk memutus mata rantai penyebaran virus corona.
Imbasnya, Indonesia yang tersohor dengan publik sepakbola yang menggila, dipaksa harus ‘berpuasa’ tanpa liga sepakbola (resmi) selama kurang lebih satu tahun lamanya. Bahkan ketika beberapa negara akhirnya sudah mulai mampu beradaptasi dengan corona dalam ihwal sepakbola, pemerintah Indonesia masih belum mau bergeming memberikan izin untuk kembali memutar kompetisi.
Setelah melewati jalan panjang nan berliku, pemerintah melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga, akhirnya mulai melunak. Izin kompetisi kemudian diteken dengan beberapa catatan, dan poin yang paling utama adalah, suporter tak diperkenankan hadir di dalam stadion untuk mendukung tim kebanggaannya berlaga.
Dari titik ini polemik mulai muncul, banyak pihak yang meragukan sepakbola akan tetap berlangsung meriah tanpa kehadiran suporter di stadion. Pendek kata; “Football without fans, is nothing!”
Tapi memaksakan suporter hadir bukanlah pilihan tepat di masa pandemi seperti saat ini.
Sebelum kompetisi resmi bertajuk Liga 1 2021 benar-benar dimulai, sebagai ajang pemanasan dan/atau lebih tepatnya sebagai upaya untuk mengecek kesiapan operator liga dan tim peserta, PSSI menggelar turnamen pramusim yang diberi tajuk Piala Menpora. Dengan penyelenggaraan turnamen tersebut, pemerintah akan menilai apakah mereka yang terlibat dalam kompetisi nantinya, mampu patuh terhadap protokol kesehatan atau tidak.
Dengan diikuti 17 tim peserta yang terbagi ke dalam 4 grup, Piala Menpora 2021 resmi memulai kick-off pada 21 Maret di Stadion Manahan Solo. Pertandingan antara Arema FC vs Persikabo 1973 didaulat sebagai laga pembuka.
Sampai di titik inipun, banyak pihak (termasuk saya) yang masih merasa pesimis akan penyelenggaraan turnamen Piala Menpora 2021. Apakah ia akan tetap berlangsung meriah serta menampilkan laga yang kompetitif, atau justru pertandingan hanya akan tersaji layaknya laga uji coba internal tim yang tanpa gairah dan membosankan. Faktor ketidakhadiran suporter di stadion jadi alasan paling krusial dalam hal ini. Karena dengan alasan apa dan bagaimanapun, suporter adalah ruh yang mampu menghidupkan jalannya laga. Meniadakan mereka dalam sepakbola, berarti mematikan gairah laga itu sendiri.
Namun di luar dugaan, walaupun tanpa hingar-bingar teriakan suporter, beberapa laga yang tersaji di gelaran turnamen Piala Menpora 2021 tetap berlangsung seru dan kompetitif. Sepakbola yang sarat drama tetap tersaji di lapangan, berbagai intrik serta emosi antar pemain tetap terjaga, kesigapan dan kealfaan wasit tetap menghiasi pertandingan, parade gol indah tetap menghibur dan tawa kemenangan serta tangis kekalahan tetap mewarnai laga demi laga.
Setidaknya hingga artikel ini ditulis, Piala Menpora telah menyelesaikan babak penyisihan grup dan satu pertandingan perempat final. Saya dan jutaan pecinta sepakbola Indonesia lainnya akhirnya kembali dapat menyaksikan hiburan yang telah lama kami nantikan, walaupun hanya dari layar kaca. Memang, mengesampingkan protokol kesehatan dengan tetap membiarkan suporter hadir dan berjubel di tribun stadion di tengah pandemi seperti saat ini, sama halnya dengan membuat kubangan bagi si virus bajingan itu untuk dapat menyebar secara lebih luas lagi.
Dalam hal ini, apresiasi tinggi layak disematkan pada pemegang hak siar televisi yang tetap mampu menghadirkan suara teriakan suporter sebagai pengganti kehadiran fisik para supporter di tribun stadion. Nyatanya kini, sepakbola bisa tetap berjalan baik serta menghibur walaupun tanpa kehadiran suporter. Tak apalah, ruh itu hilang dari peredaran sepakbola, untuk sementara.
Football without fans, is fine!
Ditulis oleh Lord Rijal, Football Writer serta Bobotoh yang sedang berkamoflase menjadi tukang wafer. Dapat ditemui di twitter dalam akun @LordRijal69
