(Arena Bobotoh) Fanatisme Tanpa Batas
Tuesday, 25 September 2018 | 11:15
Bandung, 23 September 2018 di Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA) menjadi tempat terakhir Haringga Sirilla menghembuskan nafas terakhirnya. Sirilla yang notabene salah satu warga cengkareng disebut-sebut sebagai pendukung Persija atau yang biasa kita kenal dengan the jak mania. Kronologi yang banyak digambarkan diberita dan beberapa video yang tersebar memperlihatkan bahwa sangat minimnya rasa kemanusiaan ketika fanatisme tidak memiliki batas yang wajar.
Pantaskah bila nyawa ditukar dengan rasa cinta yang terlalu berlebihan?
Jawabannya tentu saja tidak. Mungkin bagi beberapa orang kekerasan adalah cara yang sangat mudah untuk menyingkirkan lawan, tapi didalam konteks sepak bola, khususnya didalam cara dalam mendukung tim kesayangan masing-masing seharusnya perlawanan diberikan bukan dalam bentuk kekerasan melainkan dengan cara yang lazim dalam memberikan dukungan. Tragedi Haringga Sirilla di GBLA kemarin maupun tragedi-tragedi lainnya yang serupa memperlihatkan bahwa beberapa orang di Indonesia tidak memiliki batas diri dalam mengontrol perbedaan pilihan dan fanatisme terhadap sesuatu hal.
Kekerasan merupakan cara paling “gampang” untuk menentukan pemenang, hal itu lah yang kemudian digunakan oleh beberapa oknum pendukung Persib Bandung atau bobotoh untuk membuktikan jati diri mereka dalam mencintai tim Persib Bandung, hal ini tentu saja sangat bertolak belakang dengan apa yang dijunjung tinggi didalam dunia sepak bola yaitu fair play. Menurut saya pribadi Fair Play didalam dunia sepak bola tidak harus dijunjung oleh civitas profesional sepak bola saja, melainkan suporter juga.
Salah siapakah ini? Apakah Sepak Bola harus ditiadakan dengan adanya Tragedi ini ?
Jika kita mencari siapa yang salah tentu saja hal ini tertuju kepada para pelaku. Dengan alasan apapun hal yang mereka pilih tentu saja sangat tidak patut untuk diampuni, kata “biadab” dari Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, memang sudah sepantasnya disematkan kepada para pelaku yang memilih untuk menukar nyawa dalam fanatisme masing-masing individunya. Apakah kepolisian bisa disalahkan untuk hal ini? Didalam kerumunan di Tragedi kemarin saya rasa waktu yang terjadi sampai Korban menghembuskan nafas terakhirnya sangatlah cepat, karena begitu banyak hantaman dari kayu dan juga tendangan ke tubuh korban menyebabkan luka serius yang dapat mengakhiri hidupnya seketika.
Di balik semua permasalahan tentu saja harus ada yang di evaluasi oleh pemerintah maupun oleh kita sebagai masyarakat. Namun menurut saya secara pribadi menghilangkan sepak bola atas tragedi ini sama dengan melarang orang naik kendaraan untuk menghindari kecelakaan, dalam artian tidak ada korelasi antara oknum dengan sepakbola itu sendiri. Sesuatu yang bisa kita cermati adalah bagaimana kejadian seperti ini bukan hanya terjadi didalam sepak bola, melainkan banyak didalam sektor lain, mau itu politik dan lain sebagainya yang berhubungan dengan perbedaan. Kita sebagai masyarakat harus lebih menghormati perbedaan satu sama lain, walaupun kita tidak suka dengan pilihan seseorang bukan berarti kita harus menyingkirkan orang tersebut dengan cara kekerasan, kita harus mengetahui sampai mana batasan kita dalam mendukung sesuatu, jangan hanya memikirkan keuntungan diri sendiri dan kelompok yang sama, tapi pikirkan juga kerugian yang tidak manusiawi terhadap kelompok yang berbeda.
Akhir kata saya mengucapkan Turut Berduka Cita atas meninggalnya Haringga Sirilla, semoga amal ibadah dan juga kebaikan almarhum diterima yang kemudian ditempatkan di tempat terbaik disisi Nya, serta untuk pihak keluarga dapat diberikan kekuatan didalam cobaan ini. Aamiin!
Ditulis oleh Raden Adhitama, Bobotoh dengan akun Twitter @radhitamaaa

Bandung, 23 September 2018 di Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA) menjadi tempat terakhir Haringga Sirilla menghembuskan nafas terakhirnya. Sirilla yang notabene salah satu warga cengkareng disebut-sebut sebagai pendukung Persija atau yang biasa kita kenal dengan the jak mania. Kronologi yang banyak digambarkan diberita dan beberapa video yang tersebar memperlihatkan bahwa sangat minimnya rasa kemanusiaan ketika fanatisme tidak memiliki batas yang wajar.
Pantaskah bila nyawa ditukar dengan rasa cinta yang terlalu berlebihan?
Jawabannya tentu saja tidak. Mungkin bagi beberapa orang kekerasan adalah cara yang sangat mudah untuk menyingkirkan lawan, tapi didalam konteks sepak bola, khususnya didalam cara dalam mendukung tim kesayangan masing-masing seharusnya perlawanan diberikan bukan dalam bentuk kekerasan melainkan dengan cara yang lazim dalam memberikan dukungan. Tragedi Haringga Sirilla di GBLA kemarin maupun tragedi-tragedi lainnya yang serupa memperlihatkan bahwa beberapa orang di Indonesia tidak memiliki batas diri dalam mengontrol perbedaan pilihan dan fanatisme terhadap sesuatu hal.
Kekerasan merupakan cara paling “gampang” untuk menentukan pemenang, hal itu lah yang kemudian digunakan oleh beberapa oknum pendukung Persib Bandung atau bobotoh untuk membuktikan jati diri mereka dalam mencintai tim Persib Bandung, hal ini tentu saja sangat bertolak belakang dengan apa yang dijunjung tinggi didalam dunia sepak bola yaitu fair play. Menurut saya pribadi Fair Play didalam dunia sepak bola tidak harus dijunjung oleh civitas profesional sepak bola saja, melainkan suporter juga.
Salah siapakah ini? Apakah Sepak Bola harus ditiadakan dengan adanya Tragedi ini ?
Jika kita mencari siapa yang salah tentu saja hal ini tertuju kepada para pelaku. Dengan alasan apapun hal yang mereka pilih tentu saja sangat tidak patut untuk diampuni, kata “biadab” dari Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, memang sudah sepantasnya disematkan kepada para pelaku yang memilih untuk menukar nyawa dalam fanatisme masing-masing individunya. Apakah kepolisian bisa disalahkan untuk hal ini? Didalam kerumunan di Tragedi kemarin saya rasa waktu yang terjadi sampai Korban menghembuskan nafas terakhirnya sangatlah cepat, karena begitu banyak hantaman dari kayu dan juga tendangan ke tubuh korban menyebabkan luka serius yang dapat mengakhiri hidupnya seketika.
Di balik semua permasalahan tentu saja harus ada yang di evaluasi oleh pemerintah maupun oleh kita sebagai masyarakat. Namun menurut saya secara pribadi menghilangkan sepak bola atas tragedi ini sama dengan melarang orang naik kendaraan untuk menghindari kecelakaan, dalam artian tidak ada korelasi antara oknum dengan sepakbola itu sendiri. Sesuatu yang bisa kita cermati adalah bagaimana kejadian seperti ini bukan hanya terjadi didalam sepak bola, melainkan banyak didalam sektor lain, mau itu politik dan lain sebagainya yang berhubungan dengan perbedaan. Kita sebagai masyarakat harus lebih menghormati perbedaan satu sama lain, walaupun kita tidak suka dengan pilihan seseorang bukan berarti kita harus menyingkirkan orang tersebut dengan cara kekerasan, kita harus mengetahui sampai mana batasan kita dalam mendukung sesuatu, jangan hanya memikirkan keuntungan diri sendiri dan kelompok yang sama, tapi pikirkan juga kerugian yang tidak manusiawi terhadap kelompok yang berbeda.
Akhir kata saya mengucapkan Turut Berduka Cita atas meninggalnya Haringga Sirilla, semoga amal ibadah dan juga kebaikan almarhum diterima yang kemudian ditempatkan di tempat terbaik disisi Nya, serta untuk pihak keluarga dapat diberikan kekuatan didalam cobaan ini. Aamiin!
Ditulis oleh Raden Adhitama, Bobotoh dengan akun Twitter @radhitamaaa

Kuring setuju pisan ka abah gomez pssi teu bisa ngatur nu bener