(Arena Bobotoh) Barakallah Fii Umrik, Persib
Sunday, 14 March 2021 | 17:34
Persib Bandung merayakan ulang tahun ke-88 di Grha Persib, Minggu 14 Maret 2021. Foto: Dok. Persib Bandung.
Hari ini, Persib menggenapi usianya yang ke 88. Usia yang cukup tua di antara klub sepakbola Indonesia lainnya. Tantangan yang dihadapkan padanya -di tengah realitas dewasa ini yang semakin kompleks dan berubah cepat, semakin banyak.
Persib, oleh beberapa, dimaknai sebagai klub sepakbola dengan segala dinamika di dalamnya yang kerap memberi arti tersendiri bagi ribuan manusia, yang tentu saja bukan terpaku hanya pada anak-anak muda. Meski tidak menawarkan pandangan hidup yang utuh serta menyeluruh, seperti yang ditawarkan oleh agama. Tapi, Persib menawarkan tontonan menarik di akhir pekan dan rasa persaudaraan yang mendalam, di lingkup supporternya. Persaudaraan yang kemudian melahirkan ikatan beberapa kelompok. Namun, dalam titik tertentu, harus diakui pula, berpotensi melahirkan konflik dan kebencian. Meskipun, hari ini, berbagai upaya untuk menguranginya sudah dilakukan oleh beberapa kalangan.
Persib juga bisa membuat ribuan publik sepakbola mengakses dan menikmati momen-momen luar biasa yang dihadirkan: menonton, memaki, mencela, menangis, menulis, tersenyum bahagia, semua karenanya.
Mengkhidmati Sepakbola di Tengah Pandemi
Kini, lebih kurang setelah setahun penangguhan, akhirnya nadi sepakbola Indonesia mulai berdenyut lagi. Sebelumnya, oleh karena kebijakan penjarakan fisik yang muncul sebagai konsekuensi dari pandemi COVID-19, sepakbola diberhentikan untuk sementara.
Dalam dua pekan ke depan, Piala Menpora 2021 akan digelar. Turnamen pramusim ini menurut rencana digelar pada 21 Maret hingga 25 April 2021. Ada pun imbauan untuk Bobotoh agar menahan diri tidak menonton ke stadion, selain juga menahan kegiatan lain misalnya yang kerap mengemuka dalam praktik berkumpul di warung kopi, kafe, atau rumah makan, untuk menyaksikan pertandingan Persib barengan.
Satu hal yang membuat representasi ribuan bobotoh di stadion, yang biasanya turut membangkitkan emosi penonton televisi, dan membuat pertandingan menjadi lebih hidup, tidak akan terlihat —entah sampai kapan. Sehubungan dengan hal ini, Presiden FIFA Gianni Infantino, menyatakan, “Sepak bola akan kembali, dan ketika itu terjadi, kami akan merayakan keluar dari mimpi buruk bersama,” katanya, dalam sebuah wawancara. [1]
“Namun, ada satu pelajaran yang Anda dan saya mengerti: sepak bola yang akan datang setelah virus akan sangat berbeda … (lebih) inklusif, lebih sosial dan lebih mendukung, terhubung ke masing-masing negara dan pada saat yang sama lebih global, tidak sombong, dan lebih ramah.” Dia menambahkan: “Kami akan menjadi lebih baik, lebih manusiawi dan lebih memperhatikan nilai-nilai sejati.” Untuk selanjutnya, silakan hadirin sekalian menafsirkan pernyataan beliau sesuai kadar iman kepada sepakbola.
Selain itu, pandemi juga kemungkinan mengubah pengalaman kolektif suporter dalam menikmati sepakbola. Sebab, pengalaman dalam menyaksikan pertandingan secara langsung merupakan ritual yang esensial dari budaya suporter bola, dan juga punya peran penting dalam menumbuhkan identitas komunitas. Sebagaimana ritus keagaaman yang turut berubah karena pandemi, ritual suporter sepakbola pun kemungkinan akan menemukan bentuknya yang baru. Entah seperti apa.
Di titik ini, dikotomi suporter militan yang memiliki ikatan emosional terhadap persib, dan mereka yang hanya menikmatinya sebagai hiburan, nyaris tidak relevan lagi.
Klasifikasi suporter garis keras dan garis lunak, suporter militan dan karbitan, tidak berlaku lagi. Pandemi ini mempreteli dikotomi yang ada di muka. Dengan kata lain, —entah sementara atau mungkin selamanya— kini, dalam berbagai hal, semua bobotoh setara. Karena, ya, itu tadi, semuanya harus menonton dari rumah. Buah dari kebijakan yang sebetulnya memang masuk akal. Sebab, sepakbola hanyalah bagian dari kementerian (olahraga) di sebuah negara yang kini bahkan punya urusan lebih darurat: kesehatan warga.
Yang jadi soal, kemungkinan, agak sulit membayangkan pertandingan besar yang berpotensi ramai dimainkan tanpa penonton. Sulit pula membayangkan apabila kelak, di suatu hari nanti, menemui satu momen yang tertuang dalam sebuah premis filsuf pascastrukturalis, Jean Baudrillard: semua yang nyata kini menjadi simulasi.
Suatu Perkara Berlebihan Adalah Bid‘ah
Supporter sepakbola Indonesia —wabilkhusus Bobotoh— sebagaimana telah diketahui, memiliki kecenderungan selalu ingin menghadiri laga tandang. Bobotoh senantiasa hadir dalam bentuk nyata saat pertandingan berlangsung di kandang lawan, bahkan ketika pertandingan itu dilakukan jauh dari kota sendiri. Beberapa kawan mengasumsikan hal ini begitu istimewa. Sebab, menghadiri laga tandang itu berarti seorang supporter harus berkorban lebih dari biasanya —setidaknya bisa sekalian jalan-jalan. [2]
Akan tetapi, dalam situasi seperti sekarang ini —oleh karena perubahan besar sedang terjadi di seluruh dunia, tak terkecuali berdampak pada sepakbola— hukuman berat bakal mengancam klub kesayangan, bila para supporter ngotot untuk datang ke stadion saat hari pertandingan. PSSI dan PT Liga Indonesia Baru (LIB) selaku operator kompetisi telah memiliki aturan yang ketat agar para suporter tidak memaksakan diri datang ke stadion maupun mengadakan nonton bareng di tengah masa pandemi Covid-19. Bobotoh kini betul-betul sepenuhnya terdiskoneksi secara fisik dengan klub kesayangannya. [3]
Terkait hal ini, konon nantinya bakal dijadikan fase percobaan sebelum mulainya musim anyar Liga 1 2021. Itulah mengapa seruan untuk para Bobotoh agar menghindari kerumunan dan mendukung tim kesayangannya dari rumah saja gencar disosialisasikan. Barangkali, jika di masa normal, upaya untuk menghadiri laga tandang itu kerap mendapat sambutan kawan-kawan. Sebaliknya, kini berpotensi dicap sebagai ahlul bid’ah.
Runtuhnya Takhayul Pasca Pertandingan
Pandemi virus corona membuat kita semua mesti melakukan penyesuaian. Jika pandemi tak selesai dalam waktu dekat —dan kemungkinan besar tak akan selesai dalam waktu dekat— segala penyesuaian yang dilakukan itu akan menjadi kenormalan baru alias The New Normal.
Sehubungan dengan itu, kemungkinan besar, kenormalan baru akan meruntuhkan beberapa tradisi pasca pertandingan. Salah satunya Boom Boom clap. Atau, dalam konteks Indonesia, dikenal dengan Viking clap. Detik-detik pertama Viking Clap dihayati dan dianggap momen yang indah dan begitu magis dalam sepak bola. Awalnya, momen ini dirancang suporter Islandia lantas mengantarkannya masuk dalam nominasi suporter terbaik FIFA 2016.
Pada sejarahnya, konon selebrasi ini lebih dikenal dengan sebutan Thunder Clap. Namun karena Islandia yang mempopulerkannya identik dengan bangsa Viking, bangsa penakluk dan penjajah asal Skandinavia, termasuk Swedia, Norwegia, Denmark, dan Islandia, selebrasi dengan tepukan tangan ini kemudian lebih dikenal dengan Viking Clap.
Teknisnya, diawali dengan mengangkat kedua tangan kemudian bertepuk di atas kepala, mengikuti tempo pukulan tambur yang semakin cepat, dan diakhiri seruan “huuu”. Viking Clap, adalah kreativitas yang belum lama ini menjadi tradisi baru suporter Indonesia. Namun, hal ini segera akan menjadi serupa takhayul. Sebab, bila dilakukan sendirian pasca nonton pertandingan sepakbola di layar kaca, besar kemungkinan, hadirin sekalian akan dianggap kurang sehat. Demikianlah. Barangkali, untuk menggantikan habitus serupa, bisa digantikan dengan sungkem terhadap orang tua apabila dalam pertarungan itu Persib berhasil mendapat poin tiga. Atau bisa juga apalah terserah.
Selamanya Kesayangan Bobotoh
Dalam meluapkan ekspresi dukungan, kiranya wacana kenormalan baru tak akan terlalu mengubah signifikan. Sebab, terbukti antusiasme Bobotoh terhadap Persib tetaplah meledak-ledak. Meski Bobotoh kerap menuntut perbaikan layanan otoritas klub sepakbola kesayangannya, tapi ya itulah wujud cintanya yang berlebih. Beberapa waktu lalu misalnya, bobotoh mempersoalkan konten yang buruk, cara komunikasi yang payah, yang puncaknya membuat syarat yang harus dipenuhi jika ingin laga uji coba disiarkan: men-subscribe kanal YouTube Persib hingga mencapai 700 ribu subscribers.
Sebelumnya, apabila menjalani musim kompetisi dengan performa buruk, tak butuh waktu lama bakal segera diingatkan oleh bobotohnya. Sesaat setelah membalut luka dan kecewa, kemudian bangkit bersama. Tentu saja daftar ini masih bisa berlanjut, dalam catatan protes soal lainnya. Tetapi satu yang pasti: cinta berlebih yang diberikan bobotohnya inilah yang membuat Persib berbeda dari tim lainnya. Kecintaan yang melambung tinggi ini barangkali kerap dirasakan menjadi tekanan. Padahal, secara faktual, boleh dikata, Bobotoh memang punya tradisi protes kuat terhadap kebijakan otoritas klub kebanggaannya. Bobotoh acapkali menggunakan kekuatannya —wabilkhusus di sosial media—untuk menuntut pertanggungjawaban otoritas klub sepakbola kebanggaannya. Bahkan beberapa seruan menyoal protes di jalanan, atau boikot di stadion kerap berseliweran. [3] Hal ini menjadi bukti bahwa masih ada kekuatan publik sepakbola yang melakukan protes terbuka jika dirasa ada permasalahan, yang memungkinkan dialektika di dalamnya.
Secara konseptual, dialektika menyatakan segala sesuatu yang terjadi adalah hasil pertentangan, dialektika sebuah dialog nalar, cara untuk menyelidiki suatu masalah. Proses dialektika ini terjadi di hampir semua hal. Dalam sejarah, pertarungan antara tesis dengan antitesis senantiasa menghasilkan sintesis. Dan tak jarang di waktu mendatang, hasil dari pertarungan antara tesis dan antitesis itu, yakni berupa sintesis, akan berubah menjadi tesis baru yang berdialektika dengan antitesis lainnya. Begitu pula relasi yang terjalin antara pengelola persib dan bobotohnya. Dalam mewarnai dinamikanya, dialektika yang terjadi antara pengelola Persib dan Bobotohnya kerap berproses, berprogres, dan menolak stagnasi. Klaim berlebihan akan sebuah pencapaian tanpa menyertakan sentuhan satu sama lain dalam perjalanannya adalah hal yang teu asup akal. Dialektika itulah kiranya yang membuat keduanya tumbuh bersama. Suatu hal yang senyatanya layak terus tumbuh, berkembang dan meruang, dalam upaya menghayati Persib tanpa bersikap delusional.
Selamat ulang tahun, Persib Bandung!
Artikel ditulis oleh seorang bobotoh bernama Yogi Esa Sukma Nugraha, dengan akun Twitter @yogiesasukman.
[1] https://www.reuters.com/article/us-health-coronavirus-soccer-fifa-idUSKCN21Q2CI
[2] https://simamaung.com/away-day-suatu-telaah-empiris-bagian-i/
[3] https://simamaung.com/akan-ada-hukuman-jika-suporter-tetap-mendukung-ke-stadion/
[4] https://simamaung.com/arena-bobotoh-persib-yang-selalu-gagal-meredam-nalar-kritis-bobotoh/


Persib Bandung merayakan ulang tahun ke-88 di Grha Persib, Minggu 14 Maret 2021. Foto: Dok. Persib Bandung.
Hari ini, Persib menggenapi usianya yang ke 88. Usia yang cukup tua di antara klub sepakbola Indonesia lainnya. Tantangan yang dihadapkan padanya -di tengah realitas dewasa ini yang semakin kompleks dan berubah cepat, semakin banyak.
Persib, oleh beberapa, dimaknai sebagai klub sepakbola dengan segala dinamika di dalamnya yang kerap memberi arti tersendiri bagi ribuan manusia, yang tentu saja bukan terpaku hanya pada anak-anak muda. Meski tidak menawarkan pandangan hidup yang utuh serta menyeluruh, seperti yang ditawarkan oleh agama. Tapi, Persib menawarkan tontonan menarik di akhir pekan dan rasa persaudaraan yang mendalam, di lingkup supporternya. Persaudaraan yang kemudian melahirkan ikatan beberapa kelompok. Namun, dalam titik tertentu, harus diakui pula, berpotensi melahirkan konflik dan kebencian. Meskipun, hari ini, berbagai upaya untuk menguranginya sudah dilakukan oleh beberapa kalangan.
Persib juga bisa membuat ribuan publik sepakbola mengakses dan menikmati momen-momen luar biasa yang dihadirkan: menonton, memaki, mencela, menangis, menulis, tersenyum bahagia, semua karenanya.
Mengkhidmati Sepakbola di Tengah Pandemi
Kini, lebih kurang setelah setahun penangguhan, akhirnya nadi sepakbola Indonesia mulai berdenyut lagi. Sebelumnya, oleh karena kebijakan penjarakan fisik yang muncul sebagai konsekuensi dari pandemi COVID-19, sepakbola diberhentikan untuk sementara.
Dalam dua pekan ke depan, Piala Menpora 2021 akan digelar. Turnamen pramusim ini menurut rencana digelar pada 21 Maret hingga 25 April 2021. Ada pun imbauan untuk Bobotoh agar menahan diri tidak menonton ke stadion, selain juga menahan kegiatan lain misalnya yang kerap mengemuka dalam praktik berkumpul di warung kopi, kafe, atau rumah makan, untuk menyaksikan pertandingan Persib barengan.
Satu hal yang membuat representasi ribuan bobotoh di stadion, yang biasanya turut membangkitkan emosi penonton televisi, dan membuat pertandingan menjadi lebih hidup, tidak akan terlihat —entah sampai kapan. Sehubungan dengan hal ini, Presiden FIFA Gianni Infantino, menyatakan, “Sepak bola akan kembali, dan ketika itu terjadi, kami akan merayakan keluar dari mimpi buruk bersama,” katanya, dalam sebuah wawancara. [1]
“Namun, ada satu pelajaran yang Anda dan saya mengerti: sepak bola yang akan datang setelah virus akan sangat berbeda … (lebih) inklusif, lebih sosial dan lebih mendukung, terhubung ke masing-masing negara dan pada saat yang sama lebih global, tidak sombong, dan lebih ramah.” Dia menambahkan: “Kami akan menjadi lebih baik, lebih manusiawi dan lebih memperhatikan nilai-nilai sejati.” Untuk selanjutnya, silakan hadirin sekalian menafsirkan pernyataan beliau sesuai kadar iman kepada sepakbola.
Selain itu, pandemi juga kemungkinan mengubah pengalaman kolektif suporter dalam menikmati sepakbola. Sebab, pengalaman dalam menyaksikan pertandingan secara langsung merupakan ritual yang esensial dari budaya suporter bola, dan juga punya peran penting dalam menumbuhkan identitas komunitas. Sebagaimana ritus keagaaman yang turut berubah karena pandemi, ritual suporter sepakbola pun kemungkinan akan menemukan bentuknya yang baru. Entah seperti apa.
Di titik ini, dikotomi suporter militan yang memiliki ikatan emosional terhadap persib, dan mereka yang hanya menikmatinya sebagai hiburan, nyaris tidak relevan lagi.
Klasifikasi suporter garis keras dan garis lunak, suporter militan dan karbitan, tidak berlaku lagi. Pandemi ini mempreteli dikotomi yang ada di muka. Dengan kata lain, —entah sementara atau mungkin selamanya— kini, dalam berbagai hal, semua bobotoh setara. Karena, ya, itu tadi, semuanya harus menonton dari rumah. Buah dari kebijakan yang sebetulnya memang masuk akal. Sebab, sepakbola hanyalah bagian dari kementerian (olahraga) di sebuah negara yang kini bahkan punya urusan lebih darurat: kesehatan warga.
Yang jadi soal, kemungkinan, agak sulit membayangkan pertandingan besar yang berpotensi ramai dimainkan tanpa penonton. Sulit pula membayangkan apabila kelak, di suatu hari nanti, menemui satu momen yang tertuang dalam sebuah premis filsuf pascastrukturalis, Jean Baudrillard: semua yang nyata kini menjadi simulasi.
Suatu Perkara Berlebihan Adalah Bid‘ah
Supporter sepakbola Indonesia —wabilkhusus Bobotoh— sebagaimana telah diketahui, memiliki kecenderungan selalu ingin menghadiri laga tandang. Bobotoh senantiasa hadir dalam bentuk nyata saat pertandingan berlangsung di kandang lawan, bahkan ketika pertandingan itu dilakukan jauh dari kota sendiri. Beberapa kawan mengasumsikan hal ini begitu istimewa. Sebab, menghadiri laga tandang itu berarti seorang supporter harus berkorban lebih dari biasanya —setidaknya bisa sekalian jalan-jalan. [2]
Akan tetapi, dalam situasi seperti sekarang ini —oleh karena perubahan besar sedang terjadi di seluruh dunia, tak terkecuali berdampak pada sepakbola— hukuman berat bakal mengancam klub kesayangan, bila para supporter ngotot untuk datang ke stadion saat hari pertandingan. PSSI dan PT Liga Indonesia Baru (LIB) selaku operator kompetisi telah memiliki aturan yang ketat agar para suporter tidak memaksakan diri datang ke stadion maupun mengadakan nonton bareng di tengah masa pandemi Covid-19. Bobotoh kini betul-betul sepenuhnya terdiskoneksi secara fisik dengan klub kesayangannya. [3]
Terkait hal ini, konon nantinya bakal dijadikan fase percobaan sebelum mulainya musim anyar Liga 1 2021. Itulah mengapa seruan untuk para Bobotoh agar menghindari kerumunan dan mendukung tim kesayangannya dari rumah saja gencar disosialisasikan. Barangkali, jika di masa normal, upaya untuk menghadiri laga tandang itu kerap mendapat sambutan kawan-kawan. Sebaliknya, kini berpotensi dicap sebagai ahlul bid’ah.
Runtuhnya Takhayul Pasca Pertandingan
Pandemi virus corona membuat kita semua mesti melakukan penyesuaian. Jika pandemi tak selesai dalam waktu dekat —dan kemungkinan besar tak akan selesai dalam waktu dekat— segala penyesuaian yang dilakukan itu akan menjadi kenormalan baru alias The New Normal.
Sehubungan dengan itu, kemungkinan besar, kenormalan baru akan meruntuhkan beberapa tradisi pasca pertandingan. Salah satunya Boom Boom clap. Atau, dalam konteks Indonesia, dikenal dengan Viking clap. Detik-detik pertama Viking Clap dihayati dan dianggap momen yang indah dan begitu magis dalam sepak bola. Awalnya, momen ini dirancang suporter Islandia lantas mengantarkannya masuk dalam nominasi suporter terbaik FIFA 2016.
Pada sejarahnya, konon selebrasi ini lebih dikenal dengan sebutan Thunder Clap. Namun karena Islandia yang mempopulerkannya identik dengan bangsa Viking, bangsa penakluk dan penjajah asal Skandinavia, termasuk Swedia, Norwegia, Denmark, dan Islandia, selebrasi dengan tepukan tangan ini kemudian lebih dikenal dengan Viking Clap.
Teknisnya, diawali dengan mengangkat kedua tangan kemudian bertepuk di atas kepala, mengikuti tempo pukulan tambur yang semakin cepat, dan diakhiri seruan “huuu”. Viking Clap, adalah kreativitas yang belum lama ini menjadi tradisi baru suporter Indonesia. Namun, hal ini segera akan menjadi serupa takhayul. Sebab, bila dilakukan sendirian pasca nonton pertandingan sepakbola di layar kaca, besar kemungkinan, hadirin sekalian akan dianggap kurang sehat. Demikianlah. Barangkali, untuk menggantikan habitus serupa, bisa digantikan dengan sungkem terhadap orang tua apabila dalam pertarungan itu Persib berhasil mendapat poin tiga. Atau bisa juga apalah terserah.
Selamanya Kesayangan Bobotoh
Dalam meluapkan ekspresi dukungan, kiranya wacana kenormalan baru tak akan terlalu mengubah signifikan. Sebab, terbukti antusiasme Bobotoh terhadap Persib tetaplah meledak-ledak. Meski Bobotoh kerap menuntut perbaikan layanan otoritas klub sepakbola kesayangannya, tapi ya itulah wujud cintanya yang berlebih. Beberapa waktu lalu misalnya, bobotoh mempersoalkan konten yang buruk, cara komunikasi yang payah, yang puncaknya membuat syarat yang harus dipenuhi jika ingin laga uji coba disiarkan: men-subscribe kanal YouTube Persib hingga mencapai 700 ribu subscribers.
Sebelumnya, apabila menjalani musim kompetisi dengan performa buruk, tak butuh waktu lama bakal segera diingatkan oleh bobotohnya. Sesaat setelah membalut luka dan kecewa, kemudian bangkit bersama. Tentu saja daftar ini masih bisa berlanjut, dalam catatan protes soal lainnya. Tetapi satu yang pasti: cinta berlebih yang diberikan bobotohnya inilah yang membuat Persib berbeda dari tim lainnya. Kecintaan yang melambung tinggi ini barangkali kerap dirasakan menjadi tekanan. Padahal, secara faktual, boleh dikata, Bobotoh memang punya tradisi protes kuat terhadap kebijakan otoritas klub kebanggaannya. Bobotoh acapkali menggunakan kekuatannya —wabilkhusus di sosial media—untuk menuntut pertanggungjawaban otoritas klub sepakbola kebanggaannya. Bahkan beberapa seruan menyoal protes di jalanan, atau boikot di stadion kerap berseliweran. [3] Hal ini menjadi bukti bahwa masih ada kekuatan publik sepakbola yang melakukan protes terbuka jika dirasa ada permasalahan, yang memungkinkan dialektika di dalamnya.
Secara konseptual, dialektika menyatakan segala sesuatu yang terjadi adalah hasil pertentangan, dialektika sebuah dialog nalar, cara untuk menyelidiki suatu masalah. Proses dialektika ini terjadi di hampir semua hal. Dalam sejarah, pertarungan antara tesis dengan antitesis senantiasa menghasilkan sintesis. Dan tak jarang di waktu mendatang, hasil dari pertarungan antara tesis dan antitesis itu, yakni berupa sintesis, akan berubah menjadi tesis baru yang berdialektika dengan antitesis lainnya. Begitu pula relasi yang terjalin antara pengelola persib dan bobotohnya. Dalam mewarnai dinamikanya, dialektika yang terjadi antara pengelola Persib dan Bobotohnya kerap berproses, berprogres, dan menolak stagnasi. Klaim berlebihan akan sebuah pencapaian tanpa menyertakan sentuhan satu sama lain dalam perjalanannya adalah hal yang teu asup akal. Dialektika itulah kiranya yang membuat keduanya tumbuh bersama. Suatu hal yang senyatanya layak terus tumbuh, berkembang dan meruang, dalam upaya menghayati Persib tanpa bersikap delusional.
Selamat ulang tahun, Persib Bandung!
Artikel ditulis oleh seorang bobotoh bernama Yogi Esa Sukma Nugraha, dengan akun Twitter @yogiesasukman.
[1] https://www.reuters.com/article/us-health-coronavirus-soccer-fifa-idUSKCN21Q2CI
[2] https://simamaung.com/away-day-suatu-telaah-empiris-bagian-i/
[3] https://simamaung.com/akan-ada-hukuman-jika-suporter-tetap-mendukung-ke-stadion/
[4] https://simamaung.com/arena-bobotoh-persib-yang-selalu-gagal-meredam-nalar-kritis-bobotoh/
