(Arena Bobotoh) Atep Abadi, Yang Fana Itu Waktu.
Sunday, 13 January 2019 | 21:48
Satu dasawarsa yang lalu ia akhirnya pulang. Pulang ke rumah yang menjadikannya besar. Ia tahu, ketika ia pergi bermain di rumah tetangga, tekadnya adalah untuk kembali suatu saat nanti. Pergi untuk kembali, seperti kata Ello. Karena senyaman-senyamannya rumah orang lain, rumah sendiri adalah tempat terbaik untuk tinggal (dan buang air besar, tentu saja). Ia seperti menjalankan ritual wajib pemain asli didikan Persib: pergi merantau di klub lain, dan kembali saat sudah matang. Atau mungkin ialah salah satu pionir yang melakukannya.
Ya, dia adalah Atep. Si pemilik sirip hiu.
Tidak tanggung-tanggung, Persija Jakarta adalah klub rantauan yang dibela Atep sebelum kembali ke Persib pada 2008. Tentu masih ingat ketika Atep —yang saat itu masih bermain di Persija— disoraki di Stadion Siliwangi, dalam laga uji coba Timnas Indonesia melawan Persib Bandung, tapi kemudian ia bungkam semua sorakan itu dengan gol spekatakuler. Bisa dibilang, tahun 2007 itulah puncak kegemilangan karir seorang Atep, hingga puncankya mencicipi balutan jersey merah dengan lambang garuda di dada. 4 musim di ibu kota, dirasa sudah cukup kenyang untuk kembali ke Bandung, saatnya menunjukkan hasil panen terbaik di rumah sendiri kepada orang-orang yang sudah merindukannya, yang selalu memintanya pulang.
Sayangnya, sejak bergabung kembali dengan Persib, penampilan Atep tidaklah pernah menemui puncak. Atep selalu menemui batu hambatan bernama inkonsistensi. Hampir tidak pernah Atep bermain apik selama satu musim penuh. Atep lebih sering bermain egois, keronaldo-ronaldoan, membuang peluang enakeun yang harusnya jadi gol. Ketika musim berakhir mengecewakan, Atep selalu berkata akan bermain lebih baik musim berikutnya. Sebuah janji klise seperti seorang kekasih yang ketahuan selingkuh, kemudian berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Soto Pak Marto didiemin 3 bulan. Basi!
Pemain silih berganti di pos sayap, dengan label Timnas tentu saja. Dari mulai Salim Alaydrus, Siswanto, M.Ilham, M. Ridwan, Zulham Zamrun, Tantan, hingga pemain fresh graduate Febri Bow, Ghozali Siregar, Erwin Ramdani, dan Frets Butuan sekarang. Dari deretan bintang itu semua, sinar Atep mungkin kalah terang. Atep adalah lilin kecil di bawah langit malam yang gulita, tak kuasa menahan gemerlapnya bintang-bintang yang saling memamerkan cahaya. Tapi, Atep adalah Atep. Sebuah lilin kecil yang selalu ada di saat malam yang mendung , ketika ada saatnya bintang memilih bersembunyi di balik gelapnya malam, saat itulah lilin kecil ini memberikan penerangan. Saat itulah Atep memberikan perbedaan. Dia mencetak gol saat dia ingin!
2014 tentu saja musim yang paling mengesankan untuk Atep. Titik akhir seorang Atep menemui batas. Seperti biasa, sinarnya redup, jika disandingkan dengan Ferdinan Sinaga, Tantan, atau M. Ridwan yang ketiganya bermain luar biasa pada musim itu. Kembali, Atep selalu ada di saat segala situasi sudah mentok, buntu. Atep adalah jembatan yang menyambungkan harapan dan kenyataan. Skemanya sering begini, Tantan main sejak menit awal, menghabisi bek-bek sayap lawan. Kurang lebih 60 menit saat tenaga bek-bek lawan sudah habis terkuras oleh Tantan, saat itulah tugas Atep untuk menyelesaikan semuanya. Memanfaatkan kelengahan bek lawan.
Dan babak semifinal melawan Arema adalah kenangan paling manis yang diberikan oleh Atep pada semua bobotoh di manapun berada. Sebuah assist manis dari Makan Konate berhasil diteruskan dengan placing cantik satu sentuhan oleh Atep yang masuk dari bangku cadangan. Gol yang membuat nyali Arema menjadi ciut, dan membuat Persib berada di atas angin. Setelah gol dari Atep, seperti yang kita tahu semuanya menjadi lebih mudah untuk Persib.
1 bintang penanda juara liga, 1 tropi piala presiden, gol-gol yang ajaib, antik, tidak terduga, serta semua sumbangih Atep untuk Persib, menjadi penutup dari kebersamaan 10 tahun yang hampir manis. Kini, cerita yang dimulai dengan harapan itu telah diakhiri dengan senyuman. Lembaran kosong itu sudah penuh, berisi tinta-tinta emas yang digoreskan Atep. Dengan segala simanya, Atep telah menjadi contoh, panutan, dan idola untuk para juniornya yang mulai meniti karir sepakbola profesional atau mereka bocah-bocah yang masih merajut mimpi di SSB. Semua yang Atep torehkan akan terasa sempurna, andai saja ia mengakhiri karir di Persib, tim yang sewaktu kecil dulu ia mimpikan akan ia bela saat sudah dewasa. Mimpi itu telah terwujud, walau tidak pernah benar-benar menjadi sempurna. Atep adalah bukti, bahwa cinta adalah saat kamu mulai menerima ketidaksempurnaan itu.
Hatur nuhun, Lord! Berkat kamulah saya bisa bisa mempunyai perut kotak-kotak. Karena setiap kali kamu cetak gol, saya akan push up 30 kali. Pileuleuyan, kapten dan legenda. Sukses selalu!
* * *
Ditulis oleh Fakhri Naufal, seorang indomievora. Aktif di akun twitter @fvckriiii dan instagram @fvckrii

Satu dasawarsa yang lalu ia akhirnya pulang. Pulang ke rumah yang menjadikannya besar. Ia tahu, ketika ia pergi bermain di rumah tetangga, tekadnya adalah untuk kembali suatu saat nanti. Pergi untuk kembali, seperti kata Ello. Karena senyaman-senyamannya rumah orang lain, rumah sendiri adalah tempat terbaik untuk tinggal (dan buang air besar, tentu saja). Ia seperti menjalankan ritual wajib pemain asli didikan Persib: pergi merantau di klub lain, dan kembali saat sudah matang. Atau mungkin ialah salah satu pionir yang melakukannya.
Ya, dia adalah Atep. Si pemilik sirip hiu.
Tidak tanggung-tanggung, Persija Jakarta adalah klub rantauan yang dibela Atep sebelum kembali ke Persib pada 2008. Tentu masih ingat ketika Atep —yang saat itu masih bermain di Persija— disoraki di Stadion Siliwangi, dalam laga uji coba Timnas Indonesia melawan Persib Bandung, tapi kemudian ia bungkam semua sorakan itu dengan gol spekatakuler. Bisa dibilang, tahun 2007 itulah puncak kegemilangan karir seorang Atep, hingga puncankya mencicipi balutan jersey merah dengan lambang garuda di dada. 4 musim di ibu kota, dirasa sudah cukup kenyang untuk kembali ke Bandung, saatnya menunjukkan hasil panen terbaik di rumah sendiri kepada orang-orang yang sudah merindukannya, yang selalu memintanya pulang.
Sayangnya, sejak bergabung kembali dengan Persib, penampilan Atep tidaklah pernah menemui puncak. Atep selalu menemui batu hambatan bernama inkonsistensi. Hampir tidak pernah Atep bermain apik selama satu musim penuh. Atep lebih sering bermain egois, keronaldo-ronaldoan, membuang peluang enakeun yang harusnya jadi gol. Ketika musim berakhir mengecewakan, Atep selalu berkata akan bermain lebih baik musim berikutnya. Sebuah janji klise seperti seorang kekasih yang ketahuan selingkuh, kemudian berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Soto Pak Marto didiemin 3 bulan. Basi!
Pemain silih berganti di pos sayap, dengan label Timnas tentu saja. Dari mulai Salim Alaydrus, Siswanto, M.Ilham, M. Ridwan, Zulham Zamrun, Tantan, hingga pemain fresh graduate Febri Bow, Ghozali Siregar, Erwin Ramdani, dan Frets Butuan sekarang. Dari deretan bintang itu semua, sinar Atep mungkin kalah terang. Atep adalah lilin kecil di bawah langit malam yang gulita, tak kuasa menahan gemerlapnya bintang-bintang yang saling memamerkan cahaya. Tapi, Atep adalah Atep. Sebuah lilin kecil yang selalu ada di saat malam yang mendung , ketika ada saatnya bintang memilih bersembunyi di balik gelapnya malam, saat itulah lilin kecil ini memberikan penerangan. Saat itulah Atep memberikan perbedaan. Dia mencetak gol saat dia ingin!
2014 tentu saja musim yang paling mengesankan untuk Atep. Titik akhir seorang Atep menemui batas. Seperti biasa, sinarnya redup, jika disandingkan dengan Ferdinan Sinaga, Tantan, atau M. Ridwan yang ketiganya bermain luar biasa pada musim itu. Kembali, Atep selalu ada di saat segala situasi sudah mentok, buntu. Atep adalah jembatan yang menyambungkan harapan dan kenyataan. Skemanya sering begini, Tantan main sejak menit awal, menghabisi bek-bek sayap lawan. Kurang lebih 60 menit saat tenaga bek-bek lawan sudah habis terkuras oleh Tantan, saat itulah tugas Atep untuk menyelesaikan semuanya. Memanfaatkan kelengahan bek lawan.
Dan babak semifinal melawan Arema adalah kenangan paling manis yang diberikan oleh Atep pada semua bobotoh di manapun berada. Sebuah assist manis dari Makan Konate berhasil diteruskan dengan placing cantik satu sentuhan oleh Atep yang masuk dari bangku cadangan. Gol yang membuat nyali Arema menjadi ciut, dan membuat Persib berada di atas angin. Setelah gol dari Atep, seperti yang kita tahu semuanya menjadi lebih mudah untuk Persib.
1 bintang penanda juara liga, 1 tropi piala presiden, gol-gol yang ajaib, antik, tidak terduga, serta semua sumbangih Atep untuk Persib, menjadi penutup dari kebersamaan 10 tahun yang hampir manis. Kini, cerita yang dimulai dengan harapan itu telah diakhiri dengan senyuman. Lembaran kosong itu sudah penuh, berisi tinta-tinta emas yang digoreskan Atep. Dengan segala simanya, Atep telah menjadi contoh, panutan, dan idola untuk para juniornya yang mulai meniti karir sepakbola profesional atau mereka bocah-bocah yang masih merajut mimpi di SSB. Semua yang Atep torehkan akan terasa sempurna, andai saja ia mengakhiri karir di Persib, tim yang sewaktu kecil dulu ia mimpikan akan ia bela saat sudah dewasa. Mimpi itu telah terwujud, walau tidak pernah benar-benar menjadi sempurna. Atep adalah bukti, bahwa cinta adalah saat kamu mulai menerima ketidaksempurnaan itu.
Hatur nuhun, Lord! Berkat kamulah saya bisa bisa mempunyai perut kotak-kotak. Karena setiap kali kamu cetak gol, saya akan push up 30 kali. Pileuleuyan, kapten dan legenda. Sukses selalu!
* * *
Ditulis oleh Fakhri Naufal, seorang indomievora. Aktif di akun twitter @fvckriiii dan instagram @fvckrii

Hatur nuhun, Lord… Legend Persib Bandung di era millennial…
Hatur nuhun lord Atep 💪👊