Suporter-suporter yang Menyaru
Wednesday, 21 October 2015 | 09:55
Tak ada yang lebih mencemaskan, selain suporter Persib yang masih hijau saat bertamu ke Jakarta.
Kami: saya dan kawan-kawan, termasuk salah satunya wanita bukanlah anggota organisasi suporter Persib mana pun. Kami adalah bobotoh independen–jika boleh dikatakan begitu. Tak terikat pada afiliasi tertentu, senang menonton, membaca, berbincang, dan segala hal yang berbau Persib dan sepak bola, tanpa berjejak di suatu wadah yang khusus. Alih-alih sering menyaksikan Persib secara langsung di stadion, saya terutama, acapkali menonton hanya lewat layar kaca. Sempat beberapa kali saja memijakkan kaki di Jalak Harupat.
Saat ada kesempatan untuk menjadi saksi sejarah Persib menjadi kampiun di GBK, tanpa pikir panjang langsung mengiyakan ajakan itu. Konon, ini merupakan momen terlangka yang bakal sulit terulang lagi semenjak kejayaan Persib dahulu. Meskipun tak hanya kenangan-kenangan manis yang dijanjikan di sana, tetapi juga risiko teramat besar yang menanti di depan mata. Pertaruhannya adalah Jakarta bisa jadi surga atas kemenangan Persib sekaligus neraka tempat hal-hal tak terduga yang bisa saja berlangsung.
Dua hari sebelum “malam terang di GBK”, saya sudah berada di Serpong, Tangerang Selatan. Masalah tiket sudah tuntas diurus jauh-jauh hari via laman online, tinggal penukaran langsung di halaman Gelora Bung Karno. Kawan-kawan lain yang juga bergabung, sebagian memang berdomisili di area sekitar Jakarta. Lainnya sengaja menyempatkan diri dari Bandung dengan membawa kendaraan pribadi sehari sebelum pertandingan, tanpa tergabung dengan bus-bus bobotoh yang berangkat serentak dari Bandung.
Dengan dalih keamanan, kami memutuskan berangkat menggunakan transportasi umum menuju tempat berlangsungnya pertandingan melawan Sriwijaya. Menggunakan pakaian kasual, menyaru di antara para Homo Jakartanensis, kami sepakat bertemu di Stasiun Sudirman dan melanjutkan menggunakan Trans Jakarta. Artinya, kami berangkat bersama gerombolan kecil dan tentu saja tanpa pengawalan aparat keamanan.
Perjalanan di kereta berlangsung seperti biasa. Kereta memang tak begitu padat saat bukan hari kerja. Namun, ada yang sedikit ganjil ketika berada dalam busway. Terlalu banyak anak muda di jalur bus Dukuh Atas – Bundaran Senayan. Saya yang terbiasa naik transportasi utama Jakarta ini melihat sesuatu yang tak normal. Imajinasi di otak kami bekerja dengan apik, kami mengira bakal ada sesuatu yang tak beres. Semua anak muda lelaki di dalam bus kami sangka orang-orang yang tak senang dengan hadirnya bobotoh.
Fantasi tetaplah fantasi. Tak ada apa pun yang terjadi ihwal gesekan suporter. Yang ada justru dompet seorang kawan kami hilang. Beberapa penumpang ditanyai. Sayang, hasilnya nihil. Suasana agak kacau. Blokir rekening sana-sini.Surat-surat identitas, STNK, dlsb. diurus belakangan. Dan kami tetap bermufakat menyelesaikan niat semula: menonton Persib.
Turun di Halte Gelora Bung Karno, polisi sudah menyambut dengan deretan motor-motor terpampang di pinggir jalan. Dan masih di area itu, banyak anak muda berpakaian tak beratribut berkeliaran. Masih belum aman, pikir kami. Segera saya dan kelompok masuk melalui gerbang. Barulah di sana warna biru terlihat wara-wiri. Aman, kami saling bercakap.
Gate dibuka sekitar pukul 15.00. Kick off pukul 19.00. Dan 90 menit kemudian, Persib pun menang dengan skor 2-0. Bobotoh bereuforia, kami ikut pula berbahagia, sangat bahagia.
Keluar dari stadion sembari mengalami dilema. Satu sisi senang, sisi lain tak tenang. Tak ada jaminan sampai rumah dengan selamat, apalagi tanpa penjagaan. Berdasar pengalaman siang tadi yang agak mengkhawatirkan, diputuskan taksi sebagai solusi untuk mengantar sampai rumah kawan sebagai tempat singgah sementara sebelum ke Bandung. Dan untuk itu, kami berjalan kaki agak jauh dan memutar hingga Senayan City. Malah, kata Pak Sopir ada isu terjadi tawuran di sekitar GBK sehingga jarang sekali Taksi yang lewat daerah itu.
Selepas tiba di rumah kawan, meminum kopi dan lekas bergegas. Sekitar pukul 04.00 kami tiba di Bandung, kota tempat euforia akan ditumpahkan sejadi-jadinya. Kami selamat, pulang dengan penuh kebanggaan.
Keamanan, asumsi saya, adalah hal yang sedang dibenahi atau setidaknya dibuktikan bahwa bisa diselesaikan. Lebih jauh lagi, konflik antar suporter bisa (di)redam menuju sebuah ketentraman. Tentu saja, kita (suporter) sebagai objek sekaligus subjek utama dalam hal ini mesti berbenah pula. Dan semoga saja, ini menjadi momentum untuk ledakan yang lebih besar: bangkitnya sepak bola Indonesia.
Chandra Egy Setiawan, @setiawan_egy.

Tak ada yang lebih mencemaskan, selain suporter Persib yang masih hijau saat bertamu ke Jakarta.
Kami: saya dan kawan-kawan, termasuk salah satunya wanita bukanlah anggota organisasi suporter Persib mana pun. Kami adalah bobotoh independen–jika boleh dikatakan begitu. Tak terikat pada afiliasi tertentu, senang menonton, membaca, berbincang, dan segala hal yang berbau Persib dan sepak bola, tanpa berjejak di suatu wadah yang khusus. Alih-alih sering menyaksikan Persib secara langsung di stadion, saya terutama, acapkali menonton hanya lewat layar kaca. Sempat beberapa kali saja memijakkan kaki di Jalak Harupat.
Saat ada kesempatan untuk menjadi saksi sejarah Persib menjadi kampiun di GBK, tanpa pikir panjang langsung mengiyakan ajakan itu. Konon, ini merupakan momen terlangka yang bakal sulit terulang lagi semenjak kejayaan Persib dahulu. Meskipun tak hanya kenangan-kenangan manis yang dijanjikan di sana, tetapi juga risiko teramat besar yang menanti di depan mata. Pertaruhannya adalah Jakarta bisa jadi surga atas kemenangan Persib sekaligus neraka tempat hal-hal tak terduga yang bisa saja berlangsung.
Dua hari sebelum “malam terang di GBK”, saya sudah berada di Serpong, Tangerang Selatan. Masalah tiket sudah tuntas diurus jauh-jauh hari via laman online, tinggal penukaran langsung di halaman Gelora Bung Karno. Kawan-kawan lain yang juga bergabung, sebagian memang berdomisili di area sekitar Jakarta. Lainnya sengaja menyempatkan diri dari Bandung dengan membawa kendaraan pribadi sehari sebelum pertandingan, tanpa tergabung dengan bus-bus bobotoh yang berangkat serentak dari Bandung.
Dengan dalih keamanan, kami memutuskan berangkat menggunakan transportasi umum menuju tempat berlangsungnya pertandingan melawan Sriwijaya. Menggunakan pakaian kasual, menyaru di antara para Homo Jakartanensis, kami sepakat bertemu di Stasiun Sudirman dan melanjutkan menggunakan Trans Jakarta. Artinya, kami berangkat bersama gerombolan kecil dan tentu saja tanpa pengawalan aparat keamanan.
Perjalanan di kereta berlangsung seperti biasa. Kereta memang tak begitu padat saat bukan hari kerja. Namun, ada yang sedikit ganjil ketika berada dalam busway. Terlalu banyak anak muda di jalur bus Dukuh Atas – Bundaran Senayan. Saya yang terbiasa naik transportasi utama Jakarta ini melihat sesuatu yang tak normal. Imajinasi di otak kami bekerja dengan apik, kami mengira bakal ada sesuatu yang tak beres. Semua anak muda lelaki di dalam bus kami sangka orang-orang yang tak senang dengan hadirnya bobotoh.
Fantasi tetaplah fantasi. Tak ada apa pun yang terjadi ihwal gesekan suporter. Yang ada justru dompet seorang kawan kami hilang. Beberapa penumpang ditanyai. Sayang, hasilnya nihil. Suasana agak kacau. Blokir rekening sana-sini.Surat-surat identitas, STNK, dlsb. diurus belakangan. Dan kami tetap bermufakat menyelesaikan niat semula: menonton Persib.
Turun di Halte Gelora Bung Karno, polisi sudah menyambut dengan deretan motor-motor terpampang di pinggir jalan. Dan masih di area itu, banyak anak muda berpakaian tak beratribut berkeliaran. Masih belum aman, pikir kami. Segera saya dan kelompok masuk melalui gerbang. Barulah di sana warna biru terlihat wara-wiri. Aman, kami saling bercakap.
Gate dibuka sekitar pukul 15.00. Kick off pukul 19.00. Dan 90 menit kemudian, Persib pun menang dengan skor 2-0. Bobotoh bereuforia, kami ikut pula berbahagia, sangat bahagia.
Keluar dari stadion sembari mengalami dilema. Satu sisi senang, sisi lain tak tenang. Tak ada jaminan sampai rumah dengan selamat, apalagi tanpa penjagaan. Berdasar pengalaman siang tadi yang agak mengkhawatirkan, diputuskan taksi sebagai solusi untuk mengantar sampai rumah kawan sebagai tempat singgah sementara sebelum ke Bandung. Dan untuk itu, kami berjalan kaki agak jauh dan memutar hingga Senayan City. Malah, kata Pak Sopir ada isu terjadi tawuran di sekitar GBK sehingga jarang sekali Taksi yang lewat daerah itu.
Selepas tiba di rumah kawan, meminum kopi dan lekas bergegas. Sekitar pukul 04.00 kami tiba di Bandung, kota tempat euforia akan ditumpahkan sejadi-jadinya. Kami selamat, pulang dengan penuh kebanggaan.
Keamanan, asumsi saya, adalah hal yang sedang dibenahi atau setidaknya dibuktikan bahwa bisa diselesaikan. Lebih jauh lagi, konflik antar suporter bisa (di)redam menuju sebuah ketentraman. Tentu saja, kita (suporter) sebagai objek sekaligus subjek utama dalam hal ini mesti berbenah pula. Dan semoga saja, ini menjadi momentum untuk ledakan yang lebih besar: bangkitnya sepak bola Indonesia.
Chandra Egy Setiawan, @setiawan_egy.

Aslina mang, uka ngerasain pisan. Berangkatnya sendiri naik gojek dari depok, pulangnya ngeteng naik bis ke kp rambutan turun di st cawang, lanjut naik commuter line. bener2 memacu adrenalin. WKwkwk