Percayalah, Mereka Itu Setia
Wednesday, 13 January 2016 | 16:23
Ada yang tidak biasa dengan beberapa bulan ini. Oh ya, sudah lama rasanya tidak jumpa dengan pertandingan sepakbola Indonesia yang begitu padat. Bukan sekedar turnamen yang hanya habis beberapa bulan, tetapi kompetisi penuh. Iya kompetisi penuh. Terhitung sejak sepakbola Indonesia membekukan diri, sudah hampir 9 bulan juga kita kedinginan tanpa ada kehangatan berupa hiburan sepakbola. Memang, sempat ada 2 turnamen (cukup) besar dan menarik animo massa yang lumayan.
Tidak ada kompetisi berbanding lurus dengan tidak ada pemasukan. Perusahaan mana yang mau membayar karyawannya jika karyawannya tersebut tidak masuk kerja? Begitu pula klub, jangankan tidak ada kompetisi, kompetisi berjalan lancar pun beberapa klub ada yang menunggak gaji pemainnya. Persib Bandung sebagai salah satu klub yang terbilang lancar membayar pemainnya pun, merasa keberatan jika harus membayar penuh gaji para pemain. Bagaimana tidak, sebagai klub yang profesional (sebagian besar) pengeluaran klub berasal dari sponsor. Sekarang mau bayar pakai apa jika sponsor satu per satu menarik diri atau tidak menyuntikkan dana segarnya secara penuh. Sponsor pun jelas tidak mau rugi.
Dari sisi pemain, apakah salah jika pemain yang bersangkutan meminta hak mereka? Jika kita karyawan dan sedang mengalami krisis moneter, dalam artian perusahaan kita sebenarnya sehat tetapi, ada human error dari luar sehingga membuat perusahaan seakan-akan kurang sehat. Pemain jelas tidak bisa disalahkan. Klub dan sponsor pun sangat tidak mungkin bila harus dijadikan kambing hitam pekat.
Mari abaikan dulu perkara siapa yang salah atau yang pantas disalahkan (walaupun sebenarnya kita tahu siapa yang harus bertanggung jawab). Mari kita renungkan bagaimana nasib para pemain selama beberapa bulan ini? Mereka yang punya sampingan sih, bisa mengandalkan dari usahanya. Mereka yang hanya menjadikan sepakbola sebagai satu-satunya mata pencaharian ingin menafkahi keluarganya pakai apa?
Salah dan sangat salah jika kita mengecap para pemain yang pergi itu sebagai “Judas”. Kesetiaan tidak bisa dibeli dan diukur dengan uang. Memang, ada beberapa pemain yang tetap bertahan dalam keadaan sukar seperti ini dan saya sangat mengapresiasi mereka yang sanggup bertahan. Tetapi, kepada mereka yang memutuskan untuk hijrah juga saya tetap salut. Mereka masih ingin bersama klub ini walaupun nasib mereka sedang abu-abu. Coba laki-laki mana yang rela digantung dalam ketidakjelasan yang semu?
Jangan tanyakan loyalitas Dado, Firman, Jufriyanto, Ridwan, Supardi dan yang lainnya. Tentu kita masih ingat betul bagaimana Firman kala melawan Pusamania Borneo di Leg 2 Piala Presiden dan Jupe saat menghadapi prajurit PS TNI di Piala Sudirman (tanpa mengecilkan peran mereka pada pertandingan lainnya). Firman sebelumnya sudah berniat menghabiskan karir di Persib. Bagaimana Firman yang merasa gelar juara ISL 2014 bersama Persib terasa begitu spesial hingga menangis. Mungkin, jika semua berjalan normal dan lancar, bukan tidak mungkin sekarang Firman (dan yang pergi lainnya) sedang berkumpul bersama dalam sesi latihan atau sedang sibuk bahu membahu dalam suatu pertandingan demi mempertahankan gelar juara.
Setiap orang punya caranya masing-masing dalam mengartikan “setia”. Orang yang poligami pun sesungguhnya adalah orang yang setia, walaupun kepada dua wanita. Del Piero, contohnya. Kita tahu betul bagaimana dedikasinya untuk Juventus begitu tinggi. Disaat ia sudah (hampir) menghabiskan seluruh karirnya di Turin, ia justru berlabuh ke klub lain. Lalu, apakah para Juventini menganggapnya bukan sebagai pemain yang loyal?
Maka, di saat seperti carut marut seperti ini, diwajarkan mereka menerima tawaran dari pihak yang berjanji akan memenuhi kebutuhan mereka. Biarkan mereka pergi, entah untuk sementara atau selamanya. Karena kita sudah terbiasa dengan kehilangan itu. Bukankah di setiap kehilangan, Tuhan meyiapkan penggantinya yang lebih baik?
Sekali lagi, ada banyak cara orang memaknai seperti apa setia itu. Anggap saja mereka yang pergi itu seperti kita sedang menjalani hubungan jarak jauh atau LDR. Mereka memang tidak berada dekat kita tetapi, kita percaya bahwa mereka tidak akan pindah ke lain hati dan suatu saat nanti akan dipertemukan sehingga akan kembali pada dekapan kita.
Dirangkai oleh pria metropolis tetapi tidak romantis. Sering muncul di twitter @fvckriiii

Ada yang tidak biasa dengan beberapa bulan ini. Oh ya, sudah lama rasanya tidak jumpa dengan pertandingan sepakbola Indonesia yang begitu padat. Bukan sekedar turnamen yang hanya habis beberapa bulan, tetapi kompetisi penuh. Iya kompetisi penuh. Terhitung sejak sepakbola Indonesia membekukan diri, sudah hampir 9 bulan juga kita kedinginan tanpa ada kehangatan berupa hiburan sepakbola. Memang, sempat ada 2 turnamen (cukup) besar dan menarik animo massa yang lumayan.
Tidak ada kompetisi berbanding lurus dengan tidak ada pemasukan. Perusahaan mana yang mau membayar karyawannya jika karyawannya tersebut tidak masuk kerja? Begitu pula klub, jangankan tidak ada kompetisi, kompetisi berjalan lancar pun beberapa klub ada yang menunggak gaji pemainnya. Persib Bandung sebagai salah satu klub yang terbilang lancar membayar pemainnya pun, merasa keberatan jika harus membayar penuh gaji para pemain. Bagaimana tidak, sebagai klub yang profesional (sebagian besar) pengeluaran klub berasal dari sponsor. Sekarang mau bayar pakai apa jika sponsor satu per satu menarik diri atau tidak menyuntikkan dana segarnya secara penuh. Sponsor pun jelas tidak mau rugi.
Dari sisi pemain, apakah salah jika pemain yang bersangkutan meminta hak mereka? Jika kita karyawan dan sedang mengalami krisis moneter, dalam artian perusahaan kita sebenarnya sehat tetapi, ada human error dari luar sehingga membuat perusahaan seakan-akan kurang sehat. Pemain jelas tidak bisa disalahkan. Klub dan sponsor pun sangat tidak mungkin bila harus dijadikan kambing hitam pekat.
Mari abaikan dulu perkara siapa yang salah atau yang pantas disalahkan (walaupun sebenarnya kita tahu siapa yang harus bertanggung jawab). Mari kita renungkan bagaimana nasib para pemain selama beberapa bulan ini? Mereka yang punya sampingan sih, bisa mengandalkan dari usahanya. Mereka yang hanya menjadikan sepakbola sebagai satu-satunya mata pencaharian ingin menafkahi keluarganya pakai apa?
Salah dan sangat salah jika kita mengecap para pemain yang pergi itu sebagai “Judas”. Kesetiaan tidak bisa dibeli dan diukur dengan uang. Memang, ada beberapa pemain yang tetap bertahan dalam keadaan sukar seperti ini dan saya sangat mengapresiasi mereka yang sanggup bertahan. Tetapi, kepada mereka yang memutuskan untuk hijrah juga saya tetap salut. Mereka masih ingin bersama klub ini walaupun nasib mereka sedang abu-abu. Coba laki-laki mana yang rela digantung dalam ketidakjelasan yang semu?
Jangan tanyakan loyalitas Dado, Firman, Jufriyanto, Ridwan, Supardi dan yang lainnya. Tentu kita masih ingat betul bagaimana Firman kala melawan Pusamania Borneo di Leg 2 Piala Presiden dan Jupe saat menghadapi prajurit PS TNI di Piala Sudirman (tanpa mengecilkan peran mereka pada pertandingan lainnya). Firman sebelumnya sudah berniat menghabiskan karir di Persib. Bagaimana Firman yang merasa gelar juara ISL 2014 bersama Persib terasa begitu spesial hingga menangis. Mungkin, jika semua berjalan normal dan lancar, bukan tidak mungkin sekarang Firman (dan yang pergi lainnya) sedang berkumpul bersama dalam sesi latihan atau sedang sibuk bahu membahu dalam suatu pertandingan demi mempertahankan gelar juara.
Setiap orang punya caranya masing-masing dalam mengartikan “setia”. Orang yang poligami pun sesungguhnya adalah orang yang setia, walaupun kepada dua wanita. Del Piero, contohnya. Kita tahu betul bagaimana dedikasinya untuk Juventus begitu tinggi. Disaat ia sudah (hampir) menghabiskan seluruh karirnya di Turin, ia justru berlabuh ke klub lain. Lalu, apakah para Juventini menganggapnya bukan sebagai pemain yang loyal?
Maka, di saat seperti carut marut seperti ini, diwajarkan mereka menerima tawaran dari pihak yang berjanji akan memenuhi kebutuhan mereka. Biarkan mereka pergi, entah untuk sementara atau selamanya. Karena kita sudah terbiasa dengan kehilangan itu. Bukankah di setiap kehilangan, Tuhan meyiapkan penggantinya yang lebih baik?
Sekali lagi, ada banyak cara orang memaknai seperti apa setia itu. Anggap saja mereka yang pergi itu seperti kita sedang menjalani hubungan jarak jauh atau LDR. Mereka memang tidak berada dekat kita tetapi, kita percaya bahwa mereka tidak akan pindah ke lain hati dan suatu saat nanti akan dipertemukan sehingga akan kembali pada dekapan kita.
Dirangkai oleh pria metropolis tetapi tidak romantis. Sering muncul di twitter @fvckriiii

Hadeueueuehhhh gusti nu agung, bet. Te malalikir ,nyebutken loyalitas Kesetiaan jeng sajabana eleh ku kabutuhan beuteung,jeng ker ngahirupken keluargana hahahahaaa……aing hayang seuri ngak ngak…. hayang seuri psn urang mah,anu 4 pemain pindah ka sriwijaya, berarti persib te bisa sprti sriwijaya ,berarti lamun tujuanna kana eusi beuteung jeng masalah finansial mun kitu mah persib eleh ku sriwijaya ,karna mereka nu di sebut kabuutuhanna maranehana berarti sriwijaya bisa memenuhi kebutuhanna , naha ari persib teu bisa ???? Lamun persib bisa sprti sriwijaya mungkin para pemain anu 4 eta berarti moal pindah kitu!!! ,sok malikir, jadi ceuk sy mah anu para. coment di luhur secara tdk sadar sdh menyepelekan PERSIB ………
NAHA ARI PERSIB TDK BISA MMPERTAHANKAN PEMAIN ANU 4 ETA NAHA ARI SRIWIJAYA BISA MENGAMBILNYA , ?????????????
Beda lah, sriwijaya wani ngontrak pemain ti ayeuna, persib henteu..
Bener, Lur, geus alus sebenerna manajemen Persib teh. Ai euweuh pamasukan ti sponsor pedah euweuh kompetisi, nya ti awal jujur weh ka pamaenna, Persib ngan sanggup mayar sabaraha. Ti batan ngajanjikeun gaji badag, ai pek teh di akhir teu sanggup bayar? Kade ah Firman, Ridwan, Supardi, Jupe bisi ditunggak deui.
Ulah ngomongkeun maranehna nu ka tim pulau tetangga sabelah setia. Cek sy mah sarua wae ngingetan pepegatan nu geus kabur. Anteup wae, maranehna ma nang saukur keur aya duit merapat, mun geus eweuh duit kabur….bull shit deh ridwan, supardi, utina jeung jupe!
Mas Har anu setia mah lur…..