(Arena Bobotoh) Save Rohingya dan Sebuah Perlawanan yang Elegan
Wednesday, 27 September 2017 | 23:20
Aksi Solidaritas Kemanusiaan ini adalah murni karena rasa empati kami atas apa yang terjadi di Myanmar yang menimpa warga Etnis Rohingya, dan kami tidak mengindikasikan ini adalah suatu bentuk pesan politik dalam dunia sepakbola, pintu hati kami terketuk melihat penderitaan yang terjadi disana, karena pada prinsipnya sepakbola adalah alat pemersatu, maka kami sampaikan pesan perdamaian ini.
Demikian penggalan kalimat yang ditulis Heru Djoko, Ketua Umum Viking Persib Club (VPC) sebagaimana yang dimuat di laman vikingpersib.co.id Rabu 27/09/17. Lewat press release yang diberi tajuk; “Pesan Kemanusiaan dan Surat Cinta Untuk PSSI”, Heru atas nama Ketua Umum VPC, secara resmi menanggapi saksi yang dijatuhkan PSSI kepada Persib Bandung akibat aksi koreografi yang dibuat anggotanya pada pertandingan Persib vs Semen Padang, Sabtu 9/9/17 lalu.
Sudah terlalu lampau atau mungkin bisa dianggap basi, jika penulis masih saja coba membahas soal kontroversi salah-benar atas tindakan PSSI menjatuhkan sanksi kepada Persib Bandung akibat “ulah” suporternya yang -secara dengan sengaja- menyampaikan pesan barbau politik dalam sebuah pertandingan sepak bola yang jelas sudah “diharamkan” jauh-jauh hari oleh si empunya aturan baku sepak bola dunia lewat jargon”Kick Politic in Our Football”, yang itupun sebenarnya masih sering terdengar ambigu .
Mengapa ambigu? Karena jika saja FIFA mau konsisten dengan jargon yang menganggap setiap pesan yang mengatasnamakan Suku, Agama, Ras dan Antargolongan tertentu (apapun itu bentuknya) yang disampaikan di lapangan hijau tempat berlangsungnya pertandingan sepak bola dianggap sebuah pesan politik, lalu mengapa pada November 2015 silam FIFA melalui kaki-tangannya di Eropa merasa perlu harus “menyeragamkan” hampir seluruh tribun stadion dengan warna kebesaran bendera Prancis serta dibubuhi tulisan Pray for Paris guna memberi dukungan moril atas tragedi bom Paris yang menewaskan sedikitnya 129 korban jiwa.
Jika bukan ambigu, mengapa kasus tersebut tak masuk dalam kategori Kick Politic in Our Football? Lantas, apa-beda dengan Bobotoh yang membuat koreografi Save Rohingya, juga atas dasar kemanusiaan? Mengapa Persib dan beberapa klub lain yang suporternya melakukakan hal serupa mendapat hukuman berupa denda, sedangkan UEFA tidak?
Ah sudahlah! Lupakan semua tentang itu, karena bagaimanapun kita (pihak yang menolak sanksi) berteriak sampai serak sekalipun, tak akan mampu mengubah ketetapan atas putusan sanksi dari federasi. Toh kabarnya lagi, sanksi berupa denda uang senilai 50 juta rupiah yang dibebankan PSSI kepada Persib-pun sudah dibayarkan oleh PT. PBB selaku pihak yang bertanggungjawab membayar denda.
Sebenarnya anggota VPC sejak jauh hari telah menggalang dana melalui gerakan Koin Untuk PSSI guna membantu Persib menebus kesalahan atas “dosa” yang sejatinya diperbuat oleh mereka sendiri, namun apa boleh bikin, pada hari yang seharusnya akan dijadikan momen untuk “menampar” federasi lewat cara unik nan memalukan, ketika uang koin hasil udunan anggota VPC dan masyarakat umum yang dikemas dalam dua tong besar berwarna merah muda bertuliskan Koin Untuk PSSI sudah siap diserahkan ke PT. PBB untuk kemudian dibayarkan ke PSSI, ketika anggota VPC, Bobotoh dan mungkin seluruh suporter sepak bola Indonesia bersiap menertawakan federasi akibat “tamparan” unik dari Bandung. Namun -sekali lagi- apa boleh bikin, ternyata PT. PBB tanpa pemberitahuan sebelumnya dan mungkin juga tanpa rasa menghargai kerja keras mereka yang telah menggalang dana, nyatanya telah membayar denda tersebut ke PSSI secara diam-diam dan tanpa publikasi sedikitpun. Saya kecewa, seluruh anggota VPC kecewa, Bobotoh kecewa, PSSI tidak!
* * *
“Proses sama pentingnya dibanding hasil. Hasilnya nihil tak apa, yang penting sebuah proses telah dicanangkan dan dilaksanakan.” – Sudjiwo Tedjo. Sumber: Republik #Jancukers321
Bagaimanapun, walau tak menuai hasil seperti apa yang diharapkan di awal, namun proses yang telah dicanangkan dan tentunya dijalankan oleh anggota VPC lewat gerakan Koin Untuk PSSI tetap mendapat apresiasi dari berbagai pihak. Buktinya, banyak donatur di luar anggota VPC yang rela merogoh kocek pribadinya untuk ikut berpartisipasi, tak sedikit politisi (entah dia ikhlas karena cinta Persib atau hanya cari panggung semata) yang turut serta udunan, atas nama membela si pembela suara kemanusiaan.
Karena memang isu Koin Untuk PSSI ini tak lagi sebatas di lingkup sepak bola Bandung dan nasional, tapi lebih dari itu, isu ini sejatinya telah mengglobal jadi isu kemanusiaan atas mereka yang disanksi akibat menyuarakan kemerdekaan yang sejatinya adalah hak setiap makhluk hidup.
Lewat caranya, Bandung melalui Persib dan suporternya telah membuka mata seluruh stakeholder sepak bola Indonesia dan mungkin juga dunia, bahwa dengan cara yang beresiko sekalipun, keadilan, perdamaian, kebebasan dan isu kemanusiaan harus tetap disuarakan di mana dan kapanpun itu, termasuk di dalam stadion sekalipun. Dan sikap gentleman atas resiko dari keberanian menyampaikan suara kebenaran harus mampu dipertanggungjawabkan dengan cara elegan layaknya seorang ksatria, jika perlu, lawanlah resiko itu dengan sebaik-baiknya perlawanan.
Walaupun pada akhirnya sikap ksatria menanggung resiko dengan perlawanan elegan itu harus “dikhinati” oleh perlawanan dalam bentuk lain, setidaknya kita semua mampu belajar tentang arti kemanusiaan, keberanian, tanggung jawab serta kebersamaan dalam memikul beban secara bersama dari mereka yang kerap di-marjinal-kan oleh masyarakat umum.
Dan kaum politisi hendaknya berkaca dari mereka.
Ditulis oleh Syamsu Rijal, Bobotoh asal Batujaya – Karawang. Jarang berkicau namun aktif di twitter dalam akun @Lord_Rijal69

Aksi Solidaritas Kemanusiaan ini adalah murni karena rasa empati kami atas apa yang terjadi di Myanmar yang menimpa warga Etnis Rohingya, dan kami tidak mengindikasikan ini adalah suatu bentuk pesan politik dalam dunia sepakbola, pintu hati kami terketuk melihat penderitaan yang terjadi disana, karena pada prinsipnya sepakbola adalah alat pemersatu, maka kami sampaikan pesan perdamaian ini.
Demikian penggalan kalimat yang ditulis Heru Djoko, Ketua Umum Viking Persib Club (VPC) sebagaimana yang dimuat di laman vikingpersib.co.id Rabu 27/09/17. Lewat press release yang diberi tajuk; “Pesan Kemanusiaan dan Surat Cinta Untuk PSSI”, Heru atas nama Ketua Umum VPC, secara resmi menanggapi saksi yang dijatuhkan PSSI kepada Persib Bandung akibat aksi koreografi yang dibuat anggotanya pada pertandingan Persib vs Semen Padang, Sabtu 9/9/17 lalu.
Sudah terlalu lampau atau mungkin bisa dianggap basi, jika penulis masih saja coba membahas soal kontroversi salah-benar atas tindakan PSSI menjatuhkan sanksi kepada Persib Bandung akibat “ulah” suporternya yang -secara dengan sengaja- menyampaikan pesan barbau politik dalam sebuah pertandingan sepak bola yang jelas sudah “diharamkan” jauh-jauh hari oleh si empunya aturan baku sepak bola dunia lewat jargon”Kick Politic in Our Football”, yang itupun sebenarnya masih sering terdengar ambigu .
Mengapa ambigu? Karena jika saja FIFA mau konsisten dengan jargon yang menganggap setiap pesan yang mengatasnamakan Suku, Agama, Ras dan Antargolongan tertentu (apapun itu bentuknya) yang disampaikan di lapangan hijau tempat berlangsungnya pertandingan sepak bola dianggap sebuah pesan politik, lalu mengapa pada November 2015 silam FIFA melalui kaki-tangannya di Eropa merasa perlu harus “menyeragamkan” hampir seluruh tribun stadion dengan warna kebesaran bendera Prancis serta dibubuhi tulisan Pray for Paris guna memberi dukungan moril atas tragedi bom Paris yang menewaskan sedikitnya 129 korban jiwa.
Jika bukan ambigu, mengapa kasus tersebut tak masuk dalam kategori Kick Politic in Our Football? Lantas, apa-beda dengan Bobotoh yang membuat koreografi Save Rohingya, juga atas dasar kemanusiaan? Mengapa Persib dan beberapa klub lain yang suporternya melakukakan hal serupa mendapat hukuman berupa denda, sedangkan UEFA tidak?
Ah sudahlah! Lupakan semua tentang itu, karena bagaimanapun kita (pihak yang menolak sanksi) berteriak sampai serak sekalipun, tak akan mampu mengubah ketetapan atas putusan sanksi dari federasi. Toh kabarnya lagi, sanksi berupa denda uang senilai 50 juta rupiah yang dibebankan PSSI kepada Persib-pun sudah dibayarkan oleh PT. PBB selaku pihak yang bertanggungjawab membayar denda.
Sebenarnya anggota VPC sejak jauh hari telah menggalang dana melalui gerakan Koin Untuk PSSI guna membantu Persib menebus kesalahan atas “dosa” yang sejatinya diperbuat oleh mereka sendiri, namun apa boleh bikin, pada hari yang seharusnya akan dijadikan momen untuk “menampar” federasi lewat cara unik nan memalukan, ketika uang koin hasil udunan anggota VPC dan masyarakat umum yang dikemas dalam dua tong besar berwarna merah muda bertuliskan Koin Untuk PSSI sudah siap diserahkan ke PT. PBB untuk kemudian dibayarkan ke PSSI, ketika anggota VPC, Bobotoh dan mungkin seluruh suporter sepak bola Indonesia bersiap menertawakan federasi akibat “tamparan” unik dari Bandung. Namun -sekali lagi- apa boleh bikin, ternyata PT. PBB tanpa pemberitahuan sebelumnya dan mungkin juga tanpa rasa menghargai kerja keras mereka yang telah menggalang dana, nyatanya telah membayar denda tersebut ke PSSI secara diam-diam dan tanpa publikasi sedikitpun. Saya kecewa, seluruh anggota VPC kecewa, Bobotoh kecewa, PSSI tidak!
* * *
“Proses sama pentingnya dibanding hasil. Hasilnya nihil tak apa, yang penting sebuah proses telah dicanangkan dan dilaksanakan.” – Sudjiwo Tedjo. Sumber: Republik #Jancukers321
Bagaimanapun, walau tak menuai hasil seperti apa yang diharapkan di awal, namun proses yang telah dicanangkan dan tentunya dijalankan oleh anggota VPC lewat gerakan Koin Untuk PSSI tetap mendapat apresiasi dari berbagai pihak. Buktinya, banyak donatur di luar anggota VPC yang rela merogoh kocek pribadinya untuk ikut berpartisipasi, tak sedikit politisi (entah dia ikhlas karena cinta Persib atau hanya cari panggung semata) yang turut serta udunan, atas nama membela si pembela suara kemanusiaan.
Karena memang isu Koin Untuk PSSI ini tak lagi sebatas di lingkup sepak bola Bandung dan nasional, tapi lebih dari itu, isu ini sejatinya telah mengglobal jadi isu kemanusiaan atas mereka yang disanksi akibat menyuarakan kemerdekaan yang sejatinya adalah hak setiap makhluk hidup.
Lewat caranya, Bandung melalui Persib dan suporternya telah membuka mata seluruh stakeholder sepak bola Indonesia dan mungkin juga dunia, bahwa dengan cara yang beresiko sekalipun, keadilan, perdamaian, kebebasan dan isu kemanusiaan harus tetap disuarakan di mana dan kapanpun itu, termasuk di dalam stadion sekalipun. Dan sikap gentleman atas resiko dari keberanian menyampaikan suara kebenaran harus mampu dipertanggungjawabkan dengan cara elegan layaknya seorang ksatria, jika perlu, lawanlah resiko itu dengan sebaik-baiknya perlawanan.
Walaupun pada akhirnya sikap ksatria menanggung resiko dengan perlawanan elegan itu harus “dikhinati” oleh perlawanan dalam bentuk lain, setidaknya kita semua mampu belajar tentang arti kemanusiaan, keberanian, tanggung jawab serta kebersamaan dalam memikul beban secara bersama dari mereka yang kerap di-marjinal-kan oleh masyarakat umum.
Dan kaum politisi hendaknya berkaca dari mereka.
Ditulis oleh Syamsu Rijal, Bobotoh asal Batujaya – Karawang. Jarang berkicau namun aktif di twitter dalam akun @Lord_Rijal69
