(Arena Bobotoh) Menyoal Sanksi dan Ekosistem Sepakbola Bandung yang Terancam
Thursday, 04 October 2018 | 08:54
Keputusan KOMDIS PSSI akhirnya diumumkan (2/10/2018). Dan, sebagaimana kita tahu, keputusan tersebut hanya menegaskan satu hal; kita tidak pernah bisa berharap banyak pada PSSI.
Seperti dilansir berbagai media, setelah penghentian kompetisi selama kurang lebih dua pekan, konon untuk kepentingan investigasi, KOMDIS akhirnya menjatuhkan hukuman atas tragedi tewasnya supporter Persija, Haringga Sirla. Keputusan tersebut dijatuhkan setidaknya pada tiga elemen penting dalam tubuh Persib; Persib sendiri sebagai klub yang dikelola PT. Persib Merbartabat, supporter, dan panitia pelaksana pertandingan. Saya tidak akan merinci ulang detail hukumannya, namun secara garis besar Persib diharuskan menggelar pertandingan di luar Pulau Jawa (Kalimantan) tanpa penonton sampai akhir kompetisi 2018 dan pertandingan tanpa penonton di Bandung pada separuh putaran liga tahun depan. Kita singkirkan dulu pembahasan sanksi individu pemain.
Sanksi tersebut jelas sangat lah berat. Kalau boleh saya bilang, sanksi tersebut berpotensi membuat pincang ekosistem sepakbola di Kota Bandung. Kalau di-breakdown, sanksi tersebut sama dengan 28 pertandingan persib tanpa penonton/dukungan bobotoh (11 pertandingan pada sisa kompetisi tahun ini, dan 17 pertandingan pada kompetisi tahun depan). Bayangkan berapa ratus ribu jumlah potensi tiket yang gagal dijual? berapa ribu pedagang yang kehilangan potensi ekonomi dari kehadiran bobotoh di stadion? Kumaha nasib tukang cai, tukang kurupuk, tukang tahu sumedang, tukang kaos yang biasa berdagang sepanjang pertandingan-pertandingan Persib di Bandung? Lebih jauh lagi, tentu saja implikasi bisnis bagi keberlangsungan PT. Persib sendiri, dan ekspresi bobotoh yang tersegel hingga mungkin satu tahun ke depan! Ekosistem sepakbola ini bukan sekadar urusan sepakbola tetapi terkait dengan banyak hal, di antaranya; ekonomi (korporasi besar yang terkait dengan Persib, industri kreatif hingga pedagang-pedagang kecil) dan budaya (ke mana harus dialihkannya energi besar bobotoh yg lazim diekspresikan di stadion tiap dua pekan sekali). Bagi saya yang seorang bobotoh, sanksi ini kelewat mahal untuk sebuah upaya pembenahan supporter.
Kembali ke pertanyaan paling mendasar, apakah dengan sanksi ini persoalan substantif tentang kekerasan terhadap supporter bisa selesai ? Apakah ada jaminan dari PSSI bahwa tak akan ada tragedi pembunuhan supporter yang bakal terulang melalui sanksi ini? Agaknya sebuah paragraf singkat yang ditulis Zen RS bisa mewakili rasa skeptis dan kefrustasian kita terhadap PSSI. “… PSSI tak pernah merasa punya tanggung jawab, juga tak merasa punya dosa sama sekali, dalam seluruh kejadian kekerasan supporter yang sudah kelewatan ini. Padahal mereka punya banyak kewenangan untuk berbuat lebih baik guna memutus rantai kekerasan ini. PSSI merasa bukan bagian dari masalah, karena selalu hanya ingin berposisi sebagai hakim—dan itu pun hakim yang buruk” (Zen RS, 2/10/2018).
Saya pribadi, mengamini betul apa yang ditulis Zen dalam artikel pendeknya. PSSI tak mau ambil langkah rumit untuk mengumpulkan semua perwakilan klub dan stakeholder, termasuk supporter, untuk merumuskan konsensus; sebuah kesepatakan bersama terkait regulasi dan upaya preventif dalam mencegah kekerasan terhadap supporter. Melalui sanksi (yang berlebihan), PSSI hanya mengambil cara instan, di mana pada praktiknya justru menimbulkan kemarahan baru dan syakwa sangka dari bobotoh. Toh kita pun tahu, dari beberap kasus yang sudah sering tejadi sepanjang musim kompetisi, penetapan sanksi tidak pernah merujuk pada standar atau indikator yang jelas. Suatu jenis pelanggaran yang sama pada dua klub yang berbeda, bisa menghasilkan besaran denda atau sanksi yang sama sekali berbeda. Ini kan aneh kalau tidak disebut lucu. Kondisi tersebut diperparah oleh kecurigaan konflik kepentingan di tataran elit PSSI.
Saya pikir, persoalan kekerasan supporter ini adalah persoalan kultural yang tidak bisa diselesaikan oleh sekadar sanksi yang sifatnya temporal. Persoalan ini, diatasinya harus dalam wilayah kultural juga. Kekerasan pada supporter adalah artikulasi nilai yang sudah mengendap dalam alam fikir supporter kita sejak lama: supporter rival adalah lawan yang harus disingkirkan. Cara pikir macam ini sudah terlanjur diinternalisasi oleh supporter di negeri ini (sebut saja misalnya Bobotoh, Jakmania, Bonek, dan Aremania). Sebagaimana proses internalisasinya yang berlangsung sejak lama, proses pengikisan nilai juga butuh proses yang sama lamanya. Analoginya seperti mengubah masyarakat agraris yang terbiasa menggunakan bajak dan sapi, menjadi masyarakat industri yang harus fasih dan lincah menggunakan mesin. Tentu ada proses adaptasi di situ, dan ada pergeseran sistem nilai dari masyarakatnya. Mewujudkan suatu pergeseran sistem nilai ini tidak bisa seinstan PSSI menjatuhkan hukuman. Ibarat persoalannya di hulu, PSSI mencoba menyelesaikan masalahnya dari hilir. Jaka Sembung ngala peuteuy!
Kalau mengacu pada konsepsi Anthony Giddens, untuk menghidupkan nilai baru, taroh lah perdamaian antar supporter, diperlukan struktur dan agen yang bekerja. Sederhananya struktur ini meliputi institusi, sistem, aturan, regulasi, dan kekuasaan yang bisa mendukung hidupnya nilai tersebut. Nah, pada titik ini lah peran PSSI, sebagaimana disinggung Zen, “PSSI punya banyak wewenang” untuk bisa berbuat lebih dalam menciptakan sistem, aturan, atau apapun itu yang sekiranya mendukung proses internalisasi nilai perdamaian sesama supporter tersebut. Langkah awalnya, ya kumpulkan semua stakeholder, lakukan dialog, capai konsensus antara semua, kemudian hasilkan produk hukum yang konkrit dan mengikat. Selanjutnya, peran agen–supporter, pemain, wasit, official, manajemen, tukang dagang, tukang cilok, tukang kaos, tukang cai, tukang kurupuk, dsb—mensosialisasikan dan menghidupi nilai, aturan dan konsensus yang telah disepakati tersebut. Dengan cara demikian, ekosistem sepakbola kita bisa berjalan lebih sehat, bukan malah dipincangkan dengan sanksi yang teramat berat. Antiknya PSSI, setelah dua minggu rehat kompetisi, mereka tak menghasilkan regulasi baru atau produk hukum apapun selain sanksi.
Mungkin saja bobotoh bisa lebih berterima dengan sanksi andaikata PSSI mau berupaya melakukan langkah yang dijelaskan di atas. Setidaknya kumpulkan semua supporter dan stakeholder untuk mencapai kesepakatan dan penyelesaian terkait kasus-kasus serupa terdahulu, dan menetapkan langkah yang diambil ke dapan. Jangan sampai kelalaian PSSI sekian tahun, hanya jadi beban Persib sendiri. Ya, sebagaimana telah kita tahu bersama, faktanya sanksi PSSI ini malah memperumit situasi, khususnya sanksi berat yang merembet hingga persoalan teknis skuad di lapangan. Padahal jika ada pelanggaran selama pertandingan, bukankah sudah ada wasit yang berhak menghukum langsung? Untuk apa lagi KOMDIS memberikan penghakiman lanjutan? Sebegitu bodohnya kah wasit hingga banyak melewatkan banyak pelanggaran di lapangan tanpa hukuman kartu?
Tiga pemain kunci Persib dikenakan hukuman larangan bermain (Bauman, Eze, Bojan). Anehnya, dan hampir selalu begitu, jumlah match larangan bermain ini tidak pernah jelas berdasarkan pertimbangan apa. Dari mana dasarnya seorang Eze dikenakan larangan bermain selama lima match, sementara Bauman kena larangan dua match? Strandarisasi macam apa yang membedakan hukuman antara yang kena dua match larangan bermain dengan lima match larangan bermain? Rupanya hanya KOMDIS dan Tuhan yang tahu.
Langkah Selanjutna
Selain mendukung langkah manajemen untuk melakukan banding, kita sebagai bobotoh bisa terus melakukan ikhtiar untuk menyuarakan ketidaksetujuan terhadap sanksi PSSI di ranah publik. Tentu saja dengan lantang dan rasional. Hal ini sedikitnya bisa menggelindingkan tekanan publik terhadap PSSI.
Masih hangat di timeline twitter, muncul suara-suara dari bobotoh yang mendorong direktur utama Persib Bandung, Glenn Sugita, untuk mundur dari kepengurusan di LIB. Inisiatif ini sangat patut diapresiasi. Pasalnya, lepasnya Pak Glenn dari LIB bisa turut membebaskan Persib dari stigmatisasi “anak papa” yg sering dituduhkan. Selain itu, tentu saja untuk memberi contoh nyata dan telak terhadap elit klub lainnya yg masih betah bercokol di jajaran pengurus PSSI.
Perjuangan dan dukungan kita sebagai bobotoh, tentu saja tak berhenti sampai di situ. Mari rapatkan barisan, full support untuk skuad maung yg kini sedang dipreteli. Dengan cara-cara yang terhormat kita harus mencoba menginjeksikan semangat tempur untuk pemain yg tersisa. Jika tak bisa di dalam stadion, kita lakukan di luar stadion. Secara langsung atau melalui media. Apapun yang sekiranya bisa kita lakukan agar motivasi skuad maung bisa berlipat.
Tanggal 9 Oktober mendatang, dengan skuad yang pincang, Persib harus menghadapi Madura. Besar harapan kita, pemain lain yg berpotensi mengisi pos penting yg ditinggalkan Bojan, Joni, dan Eze, bisa memberikan segalanya. Maen jeung getih na. Sebuah kemenangan akan menjadi suntikan moral yg amat positif untuk skuad sendiri, bobotoh, dan manajemen yang tengah berjuang segala daya-upaya di ranahnya masing-masing. Melawan dengan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya.
Hary G. Budiman (@hgbudiman), Bobotoh Persib, Pekerja Sejarah dan Budaya.

Keputusan KOMDIS PSSI akhirnya diumumkan (2/10/2018). Dan, sebagaimana kita tahu, keputusan tersebut hanya menegaskan satu hal; kita tidak pernah bisa berharap banyak pada PSSI.
Seperti dilansir berbagai media, setelah penghentian kompetisi selama kurang lebih dua pekan, konon untuk kepentingan investigasi, KOMDIS akhirnya menjatuhkan hukuman atas tragedi tewasnya supporter Persija, Haringga Sirla. Keputusan tersebut dijatuhkan setidaknya pada tiga elemen penting dalam tubuh Persib; Persib sendiri sebagai klub yang dikelola PT. Persib Merbartabat, supporter, dan panitia pelaksana pertandingan. Saya tidak akan merinci ulang detail hukumannya, namun secara garis besar Persib diharuskan menggelar pertandingan di luar Pulau Jawa (Kalimantan) tanpa penonton sampai akhir kompetisi 2018 dan pertandingan tanpa penonton di Bandung pada separuh putaran liga tahun depan. Kita singkirkan dulu pembahasan sanksi individu pemain.
Sanksi tersebut jelas sangat lah berat. Kalau boleh saya bilang, sanksi tersebut berpotensi membuat pincang ekosistem sepakbola di Kota Bandung. Kalau di-breakdown, sanksi tersebut sama dengan 28 pertandingan persib tanpa penonton/dukungan bobotoh (11 pertandingan pada sisa kompetisi tahun ini, dan 17 pertandingan pada kompetisi tahun depan). Bayangkan berapa ratus ribu jumlah potensi tiket yang gagal dijual? berapa ribu pedagang yang kehilangan potensi ekonomi dari kehadiran bobotoh di stadion? Kumaha nasib tukang cai, tukang kurupuk, tukang tahu sumedang, tukang kaos yang biasa berdagang sepanjang pertandingan-pertandingan Persib di Bandung? Lebih jauh lagi, tentu saja implikasi bisnis bagi keberlangsungan PT. Persib sendiri, dan ekspresi bobotoh yang tersegel hingga mungkin satu tahun ke depan! Ekosistem sepakbola ini bukan sekadar urusan sepakbola tetapi terkait dengan banyak hal, di antaranya; ekonomi (korporasi besar yang terkait dengan Persib, industri kreatif hingga pedagang-pedagang kecil) dan budaya (ke mana harus dialihkannya energi besar bobotoh yg lazim diekspresikan di stadion tiap dua pekan sekali). Bagi saya yang seorang bobotoh, sanksi ini kelewat mahal untuk sebuah upaya pembenahan supporter.
Kembali ke pertanyaan paling mendasar, apakah dengan sanksi ini persoalan substantif tentang kekerasan terhadap supporter bisa selesai ? Apakah ada jaminan dari PSSI bahwa tak akan ada tragedi pembunuhan supporter yang bakal terulang melalui sanksi ini? Agaknya sebuah paragraf singkat yang ditulis Zen RS bisa mewakili rasa skeptis dan kefrustasian kita terhadap PSSI. “… PSSI tak pernah merasa punya tanggung jawab, juga tak merasa punya dosa sama sekali, dalam seluruh kejadian kekerasan supporter yang sudah kelewatan ini. Padahal mereka punya banyak kewenangan untuk berbuat lebih baik guna memutus rantai kekerasan ini. PSSI merasa bukan bagian dari masalah, karena selalu hanya ingin berposisi sebagai hakim—dan itu pun hakim yang buruk” (Zen RS, 2/10/2018).
Saya pribadi, mengamini betul apa yang ditulis Zen dalam artikel pendeknya. PSSI tak mau ambil langkah rumit untuk mengumpulkan semua perwakilan klub dan stakeholder, termasuk supporter, untuk merumuskan konsensus; sebuah kesepatakan bersama terkait regulasi dan upaya preventif dalam mencegah kekerasan terhadap supporter. Melalui sanksi (yang berlebihan), PSSI hanya mengambil cara instan, di mana pada praktiknya justru menimbulkan kemarahan baru dan syakwa sangka dari bobotoh. Toh kita pun tahu, dari beberap kasus yang sudah sering tejadi sepanjang musim kompetisi, penetapan sanksi tidak pernah merujuk pada standar atau indikator yang jelas. Suatu jenis pelanggaran yang sama pada dua klub yang berbeda, bisa menghasilkan besaran denda atau sanksi yang sama sekali berbeda. Ini kan aneh kalau tidak disebut lucu. Kondisi tersebut diperparah oleh kecurigaan konflik kepentingan di tataran elit PSSI.
Saya pikir, persoalan kekerasan supporter ini adalah persoalan kultural yang tidak bisa diselesaikan oleh sekadar sanksi yang sifatnya temporal. Persoalan ini, diatasinya harus dalam wilayah kultural juga. Kekerasan pada supporter adalah artikulasi nilai yang sudah mengendap dalam alam fikir supporter kita sejak lama: supporter rival adalah lawan yang harus disingkirkan. Cara pikir macam ini sudah terlanjur diinternalisasi oleh supporter di negeri ini (sebut saja misalnya Bobotoh, Jakmania, Bonek, dan Aremania). Sebagaimana proses internalisasinya yang berlangsung sejak lama, proses pengikisan nilai juga butuh proses yang sama lamanya. Analoginya seperti mengubah masyarakat agraris yang terbiasa menggunakan bajak dan sapi, menjadi masyarakat industri yang harus fasih dan lincah menggunakan mesin. Tentu ada proses adaptasi di situ, dan ada pergeseran sistem nilai dari masyarakatnya. Mewujudkan suatu pergeseran sistem nilai ini tidak bisa seinstan PSSI menjatuhkan hukuman. Ibarat persoalannya di hulu, PSSI mencoba menyelesaikan masalahnya dari hilir. Jaka Sembung ngala peuteuy!
Kalau mengacu pada konsepsi Anthony Giddens, untuk menghidupkan nilai baru, taroh lah perdamaian antar supporter, diperlukan struktur dan agen yang bekerja. Sederhananya struktur ini meliputi institusi, sistem, aturan, regulasi, dan kekuasaan yang bisa mendukung hidupnya nilai tersebut. Nah, pada titik ini lah peran PSSI, sebagaimana disinggung Zen, “PSSI punya banyak wewenang” untuk bisa berbuat lebih dalam menciptakan sistem, aturan, atau apapun itu yang sekiranya mendukung proses internalisasi nilai perdamaian sesama supporter tersebut. Langkah awalnya, ya kumpulkan semua stakeholder, lakukan dialog, capai konsensus antara semua, kemudian hasilkan produk hukum yang konkrit dan mengikat. Selanjutnya, peran agen–supporter, pemain, wasit, official, manajemen, tukang dagang, tukang cilok, tukang kaos, tukang cai, tukang kurupuk, dsb—mensosialisasikan dan menghidupi nilai, aturan dan konsensus yang telah disepakati tersebut. Dengan cara demikian, ekosistem sepakbola kita bisa berjalan lebih sehat, bukan malah dipincangkan dengan sanksi yang teramat berat. Antiknya PSSI, setelah dua minggu rehat kompetisi, mereka tak menghasilkan regulasi baru atau produk hukum apapun selain sanksi.
Mungkin saja bobotoh bisa lebih berterima dengan sanksi andaikata PSSI mau berupaya melakukan langkah yang dijelaskan di atas. Setidaknya kumpulkan semua supporter dan stakeholder untuk mencapai kesepakatan dan penyelesaian terkait kasus-kasus serupa terdahulu, dan menetapkan langkah yang diambil ke dapan. Jangan sampai kelalaian PSSI sekian tahun, hanya jadi beban Persib sendiri. Ya, sebagaimana telah kita tahu bersama, faktanya sanksi PSSI ini malah memperumit situasi, khususnya sanksi berat yang merembet hingga persoalan teknis skuad di lapangan. Padahal jika ada pelanggaran selama pertandingan, bukankah sudah ada wasit yang berhak menghukum langsung? Untuk apa lagi KOMDIS memberikan penghakiman lanjutan? Sebegitu bodohnya kah wasit hingga banyak melewatkan banyak pelanggaran di lapangan tanpa hukuman kartu?
Tiga pemain kunci Persib dikenakan hukuman larangan bermain (Bauman, Eze, Bojan). Anehnya, dan hampir selalu begitu, jumlah match larangan bermain ini tidak pernah jelas berdasarkan pertimbangan apa. Dari mana dasarnya seorang Eze dikenakan larangan bermain selama lima match, sementara Bauman kena larangan dua match? Strandarisasi macam apa yang membedakan hukuman antara yang kena dua match larangan bermain dengan lima match larangan bermain? Rupanya hanya KOMDIS dan Tuhan yang tahu.
Langkah Selanjutna
Selain mendukung langkah manajemen untuk melakukan banding, kita sebagai bobotoh bisa terus melakukan ikhtiar untuk menyuarakan ketidaksetujuan terhadap sanksi PSSI di ranah publik. Tentu saja dengan lantang dan rasional. Hal ini sedikitnya bisa menggelindingkan tekanan publik terhadap PSSI.
Masih hangat di timeline twitter, muncul suara-suara dari bobotoh yang mendorong direktur utama Persib Bandung, Glenn Sugita, untuk mundur dari kepengurusan di LIB. Inisiatif ini sangat patut diapresiasi. Pasalnya, lepasnya Pak Glenn dari LIB bisa turut membebaskan Persib dari stigmatisasi “anak papa” yg sering dituduhkan. Selain itu, tentu saja untuk memberi contoh nyata dan telak terhadap elit klub lainnya yg masih betah bercokol di jajaran pengurus PSSI.
Perjuangan dan dukungan kita sebagai bobotoh, tentu saja tak berhenti sampai di situ. Mari rapatkan barisan, full support untuk skuad maung yg kini sedang dipreteli. Dengan cara-cara yang terhormat kita harus mencoba menginjeksikan semangat tempur untuk pemain yg tersisa. Jika tak bisa di dalam stadion, kita lakukan di luar stadion. Secara langsung atau melalui media. Apapun yang sekiranya bisa kita lakukan agar motivasi skuad maung bisa berlipat.
Tanggal 9 Oktober mendatang, dengan skuad yang pincang, Persib harus menghadapi Madura. Besar harapan kita, pemain lain yg berpotensi mengisi pos penting yg ditinggalkan Bojan, Joni, dan Eze, bisa memberikan segalanya. Maen jeung getih na. Sebuah kemenangan akan menjadi suntikan moral yg amat positif untuk skuad sendiri, bobotoh, dan manajemen yang tengah berjuang segala daya-upaya di ranahnya masing-masing. Melawan dengan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya.
Hary G. Budiman (@hgbudiman), Bobotoh Persib, Pekerja Sejarah dan Budaya.

kekerasan, perselisihan di akar rumput tidak akan selesai… karena elit pssi juga menggunakan segala cara menjegal persib dengan jalan tidak adil dibawah mah nurutan juga. jadi kesimpulan gimana mau perdamaian, lah diatasnya maen sikat sikut.
mau liat dampaknya?? dari 1991 Indonesia tidak pernah juara di level senior hingga sekarang! dan jadi looser terus di aff
Pssi abaikan fakta yang ada,hanya melihat dengan satu kacamata.katanya ada tim pencari fakta,anu midiona sampai ayeuna can katewak ku pulisi. Curiga aya konpirasi di tim sabelah!!!!!
kurimg mah ngan hiji we rek nanya…di organisasi manapun yg namanya regulasi/aturan.hkman sangsi dlsb..di buat pada saat kongres…bukan dadakan gara2 persib ,itu namanya menghalalkan segala cara untuk menghancurkan persib titik …buat apa persib banding mending mundursib
Koar2 d sosmed ayo turun ka jalan pusat bgajaredog wae eleh ku tasik
Tasik Bergerak Bray, Sampai Ke Pelosok Desa Di Depan Rumah Ditempeli Kertas yang Berisi Protes Keras Terhadap PSSI.
MUMDUR SIB..atawa kandang di serui…aturan asal2an aturan lieur
cara memasukan artikel/tulisan di arena bobotoh gimana caranya
Maen ge geus ngaco moal bener…….