(Arena Bobotoh) “Menoleransi” Dua Hasil Minor Persib
Thursday, 05 April 2018 | 13:46
Oleh: Novan Herfiyana
Liga 1 Indonesia 2018 sudah dibuka sejak 23 Maret 2018. Pekan pertama (23-26 Maret 2018) dan pekan kedua (30 Maret s.d. 2 April 2018) telah menyelesaikan seluruh pertandingannya. Persib(Bandung) sendiri, dalam dua pertandingan pertamanya, mengalami hasil minor yaitu bermain imbang 1-1 dengan PS Tira (Bantul) dan kalah1-3 dari Sriwijaya FC (Palembang). Dalam klasemen sementara, hasil pertandingan tersebut menempatkan Persib berada di peringkat ke-15 dari 18 klub peserta.
Bagi (sebagian?) bobotoh, ketika Persib menempati “papan bawah” Liga 1 2018, diakui atau tidak, memang cukup memprihatinkan meskipun hal itu untuk sementara dan kompetisi masih panjang.
Pra-Kompetisi
Menjelang Liga 1 2018, bobotoh merasa bahwa Persib tampak biasa-biasa saja. Terkesan lebih banyak pihak yang pesimistis, untuk tidak menyebut realistis pada zamannya. Salah satu alasannya yaitu soal perekrutan skuad Persib.
Hal itu berbanding terbalik dengan Persib yang setelah menjuarai Liga Super Indonesia 2014 sempat mencurahkan optimisme pada beberapa turnamen, salah satunya di Piala Presiden 2015 yang menghasilkan gelar juara.
Bagi saya, sebagai penulis, ada beberapa alasan yang membuat bobotoh “pesimistis” kepada Persib dalam mengarungi pertandingan-pertandingannya di tahun 2018 ini.
Pertama, Persib yang menempati peringkat ke-13 dalam Liga 1 2017 tampaknya telah menciptakan “trauma” tersendiri bagi bobotoh.
Kedua, Kegagalan Persib di Piala Presiden 2018 (bahkan untuk lolos dari babak penyisihan [fase group] sekali pun) telah menciptakan “pesimistis” tersendiri bagi bobotoh.
Ketiga, Setelah Piala Presiden 2018, Persib “tidak tampil” di televisi lagi (untuk mengikuti turnamen misalnya) sehingga hal itu membuat bobotoh tidak bisa melihat perkembangan kekuatan Persib seperti apa.
Ada kalanya, hal itu dipengaruhi pula oleh “ego sentris” bahwa bobotoh sering kali memperhatikan Persib tanpa melihat “permasalahan” klub-klub lain secara keseluruhan. (Hal yang sama terjadi pada suporter lain terhadap 17 klub kompetitornya).
Kompetisi (Liga 1)
Pra-Kompetisi sudah berlalu. Kini, kita memasuki kompetisi. Liga 1 2018 telah memainkan dua kali pertandingannya untuk semua kesebelasan, tidak terkecuali Persib. Dalam pertandingan pertama, Persib ditahan imbang 1-1 oleh PS Tira di Stadion Gelora Bandung Lautan Api, Gedebage, Kota Bandung (25/3/2018).
Bagi saya, hasil imbang di kandang adalah kekalahan. Ada dua poin yang hilang. Namun, menyaksikan pertandingan tersebut, hasil imbang seharusnya 0-0, bukan 1-1. Saya melihat, gol Ezechiel Aliadjim N’Douassel (Persib) beraroma “keberuntungan”. Artinya, kesalahan berasal dari umpan “bunuh diri” pemain belakang lawan. (Dari sudut pandang Persib, setiap pemain harus bisa memanfaatkan peluang dari apa pun yang terjadi. Namun, penulis sendiri merasa kecewa seandainya gol lawan tercipta dari proses yang seperti itu. Sebagai perbandingannya, penulis merasa wajar dengan ketiga gol Sriwijaya FC ke gawang Persib).
Selain itu, gol Aleksandar Rakic (PS Tira) pada “detik terakhir” adalah hal yang wajar. Biasa-biasa saja. Kalau pun dianggap mengecewakan, gol dramatis itu terjadi ke gawang Persib, klub kesayangan bobotoh (termasuk penulis) dan itu terjadi di “detik terakhir”. Dalam pertandingan Persib melawan PS Tira itu, terutama perihal gol dramatis, jangan salahkan I Made Wirawan (penjaga gawang Persib) karena secara proses, itu termasuk gol cantik. Hanya pemain belakang Persib saja yang kalah heading.
Dalam pertandingan itu, saya justru kecewa pada tambahan waktu yang mencapai lima menit. Menurut saya, dua atau tiga menit adalah hal yang wajar. Apa boleh buat, gol ditakdirkan pada menit kelima setelah waktu normal (baca: 90 + 5). Lebih dari itu, satu-satunya kekecewaan saya yaitu dominasi Persib yang tidak ada. Persib tidak mampu mencetak banyak gol. Bahkan, seingat penulis, sejak menit ke-60, Persib sering kali diserang yang “berakhir” pada gol dramatis tadi.
Sementara itu, untuk pertandingan kedua, Persib harus mengakui keunggulan Sriwijaya FC 1-3 di Stadion Gelora Sriwijaya, Jakabaring, Kota Palembang (1/4/2018). Bagi saya, pertandingan itu cukup menarik. Persib menang atau Sriwijaya FC menang merupakan hal yang wajar. Hal yang tidak wajar itu jika kedua kesebelasan bermain imbang. Artinya, hasil seri sungguh disayangkan bagi kedua kesebelasan jika itu terjadi. (Kecuali, hasil serinya bukan 0-0). Sayang, dari sudut pandang Persib, Persib kalah 1-3 meskipun Ezechiel Aliadjim N’Douassel telah membuka harapan.
Dua atau tiga gol dalam waktu yang cepat, lebih kurang 1, 2, atau 3 menit, saya menganggapnya hanya satu gol. Bahkan untuk gol di lima menit pertama dan lima menit terakhir di dalam satu babak, termasuk babak kedua, saya menganggapnya tidak ada, dalam pertandingan apa pun. Hal itu tidak berlaku pada fakta (aturan) bahwa peristiwa tersebut menciptakan hasil akhir. Tentu saja.
Jadi, kekalahan Persib dari Sriwijaya FC itu masih dianggap hal yang wajar. Apalagi keempat gol yang terjadi dalam pertandingan tersebut, saya anggap, merupakan gol dari proses yang bagus. Hal itu terlepas dari kesalahan (baca: membiarkan daerah kosong) pemain belakang Persib misalnya. Lebih dari itu, Persib kalah karena bertindak sebagai tim tamu. (Bandingkan ketika Persib melawan PS Tira).
Terlepas dari itu, satu-satunya gol dari satu-satunya serangan balik jauh lebih berharga daripada seribu tendangan yang hanya menyentuh tiang gawang!
Ekspektasi Persib
Sebagai bobotoh, saya berharap bahwa Persib bisa meningkatkan penampilannya, khususnya dari segi prestasi. “Papan bawah” adalah keprihatinan.
Saya berharap bahwa semua pertandingan kandang (home) Persib berakhir dengan kemenangan untuk tuan rumah meskipun semua pertandingan tandang (away) berakhir dengan kekalahan (semoga hal itu tidak terjadi [lagi]). Sebagai catatan, semua pertandingan dari kompetitor lainnya bermain imbang.
Pekan ketiga, Persib dijadwalkan melawan Mitra Kukar (8/4/2018). Sebagai tuan rumah, Persib wajib menang, siapa pun lawannya. Bahkan jika pertandingan tandang beraroma kandang pun demikian. Anggaplah pertandingan semacam itu sebagai bonus.
Teorinya, bertanding di kandang sendiri harus dimenangkan (tiga poin), dan itu wajar sebagaimana “perlakuan” Sriwijaya FC kepada Persib. PR-nya dalam pertandingan tandang, Persib harus menang untuk mengganti dua poin yang hilang dari PS Tira. (Kemenangan di tandang berarti Persib sudah unggul satu poin [3-2], sedangkan jika bermain imbang berarti terjadi dalam dua pertandingan tandang [1+1]. Impas. Ya, begitulah). Sebaliknya, jika Persib seri atau bahkan kalah dari Mitra Kukar, hal itu sungguh memprihatinkan. Rasa “trauma” akan makin dalam (meskipun ada harapan yang di-elu-elu-kan bahwa kompetisi masih panjang). Kebangetan.
Gelar juara kompetisi merupakan dambaan suporter untuk klubnya, termasuk bobotoh untuk Persib-nya. Namun, bagi penulis, hal itu tampak kuno.
Lebih dari sekadar juara, penulis berharap agar Persib bisa menjadi wakil Indonesia setiap tahun di arena internasional, seperti Liga Champions Asia dan/atau Piala AFC misalnya. Ya, go internasional! Hal itu bermakna bahwa Persib, diupayakan setiap tahunnya, tanpa terputus, harus berada di peringkat “3 Besar”, plus hasil verifikasinya! Itu adalah kebanggaan.
Penulis merasa senang ketika Persib bisa menampilkan permainan cantik dan apalagi memiliki banyak peluang untuk menciptakan gol (meskipun kalah misalnya). Artinya, masih ada semangat perlawanan. Namun, hasil minor janganlah dijadikan kebiasaan.
Ditulis oleh Novan Herfiyana, mantan pemain SSB, berakun Twitter @novanherfiyana

Oleh: Novan Herfiyana
Liga 1 Indonesia 2018 sudah dibuka sejak 23 Maret 2018. Pekan pertama (23-26 Maret 2018) dan pekan kedua (30 Maret s.d. 2 April 2018) telah menyelesaikan seluruh pertandingannya. Persib(Bandung) sendiri, dalam dua pertandingan pertamanya, mengalami hasil minor yaitu bermain imbang 1-1 dengan PS Tira (Bantul) dan kalah1-3 dari Sriwijaya FC (Palembang). Dalam klasemen sementara, hasil pertandingan tersebut menempatkan Persib berada di peringkat ke-15 dari 18 klub peserta.
Bagi (sebagian?) bobotoh, ketika Persib menempati “papan bawah” Liga 1 2018, diakui atau tidak, memang cukup memprihatinkan meskipun hal itu untuk sementara dan kompetisi masih panjang.
Pra-Kompetisi
Menjelang Liga 1 2018, bobotoh merasa bahwa Persib tampak biasa-biasa saja. Terkesan lebih banyak pihak yang pesimistis, untuk tidak menyebut realistis pada zamannya. Salah satu alasannya yaitu soal perekrutan skuad Persib.
Hal itu berbanding terbalik dengan Persib yang setelah menjuarai Liga Super Indonesia 2014 sempat mencurahkan optimisme pada beberapa turnamen, salah satunya di Piala Presiden 2015 yang menghasilkan gelar juara.
Bagi saya, sebagai penulis, ada beberapa alasan yang membuat bobotoh “pesimistis” kepada Persib dalam mengarungi pertandingan-pertandingannya di tahun 2018 ini.
Pertama, Persib yang menempati peringkat ke-13 dalam Liga 1 2017 tampaknya telah menciptakan “trauma” tersendiri bagi bobotoh.
Kedua, Kegagalan Persib di Piala Presiden 2018 (bahkan untuk lolos dari babak penyisihan [fase group] sekali pun) telah menciptakan “pesimistis” tersendiri bagi bobotoh.
Ketiga, Setelah Piala Presiden 2018, Persib “tidak tampil” di televisi lagi (untuk mengikuti turnamen misalnya) sehingga hal itu membuat bobotoh tidak bisa melihat perkembangan kekuatan Persib seperti apa.
Ada kalanya, hal itu dipengaruhi pula oleh “ego sentris” bahwa bobotoh sering kali memperhatikan Persib tanpa melihat “permasalahan” klub-klub lain secara keseluruhan. (Hal yang sama terjadi pada suporter lain terhadap 17 klub kompetitornya).
Kompetisi (Liga 1)
Pra-Kompetisi sudah berlalu. Kini, kita memasuki kompetisi. Liga 1 2018 telah memainkan dua kali pertandingannya untuk semua kesebelasan, tidak terkecuali Persib. Dalam pertandingan pertama, Persib ditahan imbang 1-1 oleh PS Tira di Stadion Gelora Bandung Lautan Api, Gedebage, Kota Bandung (25/3/2018).
Bagi saya, hasil imbang di kandang adalah kekalahan. Ada dua poin yang hilang. Namun, menyaksikan pertandingan tersebut, hasil imbang seharusnya 0-0, bukan 1-1. Saya melihat, gol Ezechiel Aliadjim N’Douassel (Persib) beraroma “keberuntungan”. Artinya, kesalahan berasal dari umpan “bunuh diri” pemain belakang lawan. (Dari sudut pandang Persib, setiap pemain harus bisa memanfaatkan peluang dari apa pun yang terjadi. Namun, penulis sendiri merasa kecewa seandainya gol lawan tercipta dari proses yang seperti itu. Sebagai perbandingannya, penulis merasa wajar dengan ketiga gol Sriwijaya FC ke gawang Persib).
Selain itu, gol Aleksandar Rakic (PS Tira) pada “detik terakhir” adalah hal yang wajar. Biasa-biasa saja. Kalau pun dianggap mengecewakan, gol dramatis itu terjadi ke gawang Persib, klub kesayangan bobotoh (termasuk penulis) dan itu terjadi di “detik terakhir”. Dalam pertandingan Persib melawan PS Tira itu, terutama perihal gol dramatis, jangan salahkan I Made Wirawan (penjaga gawang Persib) karena secara proses, itu termasuk gol cantik. Hanya pemain belakang Persib saja yang kalah heading.
Dalam pertandingan itu, saya justru kecewa pada tambahan waktu yang mencapai lima menit. Menurut saya, dua atau tiga menit adalah hal yang wajar. Apa boleh buat, gol ditakdirkan pada menit kelima setelah waktu normal (baca: 90 + 5). Lebih dari itu, satu-satunya kekecewaan saya yaitu dominasi Persib yang tidak ada. Persib tidak mampu mencetak banyak gol. Bahkan, seingat penulis, sejak menit ke-60, Persib sering kali diserang yang “berakhir” pada gol dramatis tadi.
Sementara itu, untuk pertandingan kedua, Persib harus mengakui keunggulan Sriwijaya FC 1-3 di Stadion Gelora Sriwijaya, Jakabaring, Kota Palembang (1/4/2018). Bagi saya, pertandingan itu cukup menarik. Persib menang atau Sriwijaya FC menang merupakan hal yang wajar. Hal yang tidak wajar itu jika kedua kesebelasan bermain imbang. Artinya, hasil seri sungguh disayangkan bagi kedua kesebelasan jika itu terjadi. (Kecuali, hasil serinya bukan 0-0). Sayang, dari sudut pandang Persib, Persib kalah 1-3 meskipun Ezechiel Aliadjim N’Douassel telah membuka harapan.
Dua atau tiga gol dalam waktu yang cepat, lebih kurang 1, 2, atau 3 menit, saya menganggapnya hanya satu gol. Bahkan untuk gol di lima menit pertama dan lima menit terakhir di dalam satu babak, termasuk babak kedua, saya menganggapnya tidak ada, dalam pertandingan apa pun. Hal itu tidak berlaku pada fakta (aturan) bahwa peristiwa tersebut menciptakan hasil akhir. Tentu saja.
Jadi, kekalahan Persib dari Sriwijaya FC itu masih dianggap hal yang wajar. Apalagi keempat gol yang terjadi dalam pertandingan tersebut, saya anggap, merupakan gol dari proses yang bagus. Hal itu terlepas dari kesalahan (baca: membiarkan daerah kosong) pemain belakang Persib misalnya. Lebih dari itu, Persib kalah karena bertindak sebagai tim tamu. (Bandingkan ketika Persib melawan PS Tira).
Terlepas dari itu, satu-satunya gol dari satu-satunya serangan balik jauh lebih berharga daripada seribu tendangan yang hanya menyentuh tiang gawang!
Ekspektasi Persib
Sebagai bobotoh, saya berharap bahwa Persib bisa meningkatkan penampilannya, khususnya dari segi prestasi. “Papan bawah” adalah keprihatinan.
Saya berharap bahwa semua pertandingan kandang (home) Persib berakhir dengan kemenangan untuk tuan rumah meskipun semua pertandingan tandang (away) berakhir dengan kekalahan (semoga hal itu tidak terjadi [lagi]). Sebagai catatan, semua pertandingan dari kompetitor lainnya bermain imbang.
Pekan ketiga, Persib dijadwalkan melawan Mitra Kukar (8/4/2018). Sebagai tuan rumah, Persib wajib menang, siapa pun lawannya. Bahkan jika pertandingan tandang beraroma kandang pun demikian. Anggaplah pertandingan semacam itu sebagai bonus.
Teorinya, bertanding di kandang sendiri harus dimenangkan (tiga poin), dan itu wajar sebagaimana “perlakuan” Sriwijaya FC kepada Persib. PR-nya dalam pertandingan tandang, Persib harus menang untuk mengganti dua poin yang hilang dari PS Tira. (Kemenangan di tandang berarti Persib sudah unggul satu poin [3-2], sedangkan jika bermain imbang berarti terjadi dalam dua pertandingan tandang [1+1]. Impas. Ya, begitulah). Sebaliknya, jika Persib seri atau bahkan kalah dari Mitra Kukar, hal itu sungguh memprihatinkan. Rasa “trauma” akan makin dalam (meskipun ada harapan yang di-elu-elu-kan bahwa kompetisi masih panjang). Kebangetan.
Gelar juara kompetisi merupakan dambaan suporter untuk klubnya, termasuk bobotoh untuk Persib-nya. Namun, bagi penulis, hal itu tampak kuno.
Lebih dari sekadar juara, penulis berharap agar Persib bisa menjadi wakil Indonesia setiap tahun di arena internasional, seperti Liga Champions Asia dan/atau Piala AFC misalnya. Ya, go internasional! Hal itu bermakna bahwa Persib, diupayakan setiap tahunnya, tanpa terputus, harus berada di peringkat “3 Besar”, plus hasil verifikasinya! Itu adalah kebanggaan.
Penulis merasa senang ketika Persib bisa menampilkan permainan cantik dan apalagi memiliki banyak peluang untuk menciptakan gol (meskipun kalah misalnya). Artinya, masih ada semangat perlawanan. Namun, hasil minor janganlah dijadikan kebiasaan.
Ditulis oleh Novan Herfiyana, mantan pemain SSB, berakun Twitter @novanherfiyana

Ngomong naon sih??
Eta toleransi,.. Baca deui geura 3 balikan mah,… InsyaAlloh geura migrain ,.. Wk… Wk… Wk
Tulisannamah alus, panjang, lebar… Ngan kurang bermutu
Toleransi wae ti baheula oge…protes saeutik disebut intoleransi, lain bobotoh sajati, geus we maneh nu maen…hadeuh ! Tingali we nya mun engke lawan mitra kukar melendoy deui misalna hasil seri jwbna kita udah berusaha maksimal ngasih yg terbaik, mun eleh jwbna mohon maaf ini akan kita jadikan pelajaran berharga agar ke depannya jd lbh baik.
mentoleransi flare dan denda .. kali kali kitu atuh min ..
Lier macana ah.
Naon nya,, pilihan kata jeung titik-koma na mereun nya, nu nyieun teu kaharti artikelna.
Alus-alus,, aya kadaek sakitu ge, heuheu