12 Jam di Kota Lautan Biru
Wednesday, 26 January 2011 | 11:01
Oleh: Genta Pangripta
Sebagai pecinta sepakbola nasional yang menjadi bobotoh persib sejak kecil, melihat kejadian kemarin, nampaknya memunculkan rasa sedih yang mendalam. Ada beberapa faktor yang melandasi hal itu. Faktor itu adalah merupakan percamburan klasik antara internal dan eksternal yang melanda Persib sendiri.
Internal tentu saja bahwa Persib masih menyimpan “produk” gagal dalam diri bobotohnya. Kerusuhan yang terjadi membuat saya semakin kesulitan untuk mengangkat nama Bobotoh di kota metropolitan ini. Sudah tidak rahasia lagi kalau saya adalah bobotoh sejati dan tinggal di Jakarta dan teman-teman saya respek dengan hal itu karena saya selalu membawa citra yang baik sebagai Bobotoh. Hal semalam membuat saya sadar bahwa saya berhak sombong karena mampu mencerminkan Bobotoh yang memang diinginkan mungkin oleh seluruh pecinta sepakbola.
Pada akhirnya semua kembali pada sifat masing-masing individu. Ada yang bisa berfikir jernih ada yang tidak. Ada yang bisa menahan emosi ada yang tidak. Bahkan kelas tiket VIP pun tidak menjamin seseorang untuk bisa menjadi suporter yang baik. Kursi penonton dicopot dan dilempar ke bench Arema di depan mata kepala saya. Wow, begitu bangganya saya sebagai bobotoh “luarkota” karena dapat memagari hati untuk tidak seperti itu.
Hal eksternal tentu saja ada pada 3 sejoli. Wasit, aparat, PSSI. Wasit adalah biang keladi dari segalanya. Entah karena dia beserta AW1 dan AW2 berpendidikan rendah sehingga mempunyai tingkat intelektual yang bisa dibilang sangat lemah. Ataukan mereka sudah “dipegang” oleh sejoli yang lain yaitu PSSI? Sangat mungkin terjadi. Saya sampai detik ini beranggapan bahwa Persib merupakan tim yang jujur sehingga dia jarang “sungkem” ke PSSI. Hal ini membuat Persib tidak mendapat angin surga dari PSSI sehingga lewat wasitlah berbicara.
Inilah wajah sepakbola kita, susah menjadi rahasia umum kalau klub yang suka ”sungkem” ke PSSI akan dapat previlage tersendiri. Intinya Persib tidak hanya melawan tim lawan tetapi wasit pun jadi lawan ke duabelas. Haruskan Persib juga ikutan “sungkem” ke PSSI agar juga mendapat angin segar dan tidak dikerjai wasit lagi? Dan beranikah PSSI menghukum Persib yang sedang kecewa pada ISL? Persib primadona ISL, rating televisinya tinggi, akan neraka bagi PSSI kalau Persib sampai lepas.
Aparat merupakan pelengkap derita sepakbola kita. Kemarin klasik sekali mereka, hanya menonton kerusuhan dan terkesan takut kepada penonton. Lebih baik pulang saja bapak-bapak kalau kau takut “berlayar”. Hal ter-“freak” yang terjadi kemaren adalah ketika mereka berusaha menghabisi Pablo Francis. Sebuah sikap orang-orang pengecut yang berbondong-bondong layaknya SMA tawuran mengejar Pablo. Jangan beraninya keroyokan pak, giliran suporter yang rusuh anda diam.
Banyak kenangan yang tercipta dalam 12 jam hidup saya di Bandung kemarin. Mulai dari mengantar jersey Indonesia ke sodara tercinta, nonton konser Mocca, hingga puncaknya menonton Persib. Hal positif coba saya munculkan bahwa saya menjadi saksi sejarah kebobrokan sepakbola kita secara langsung. Hal ini dikarenakan stasiun TV pemegang hak siar juga tak punya nyali untuk menayangkan kejadian-kejadian yang bisa menjatuhkan citra ISL di dpn LPI ataupun masyarkat .
Genta Pangripta | @gentaripta
Pendapat yang dinyatakan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan pendapat pribadi penulis, tidak mencerminkan pendapat redaksi Simamaung.

Oleh: Genta Pangripta
Sebagai pecinta sepakbola nasional yang menjadi bobotoh persib sejak kecil, melihat kejadian kemarin, nampaknya memunculkan rasa sedih yang mendalam. Ada beberapa faktor yang melandasi hal itu. Faktor itu adalah merupakan percamburan klasik antara internal dan eksternal yang melanda Persib sendiri.
Internal tentu saja bahwa Persib masih menyimpan “produk” gagal dalam diri bobotohnya. Kerusuhan yang terjadi membuat saya semakin kesulitan untuk mengangkat nama Bobotoh di kota metropolitan ini. Sudah tidak rahasia lagi kalau saya adalah bobotoh sejati dan tinggal di Jakarta dan teman-teman saya respek dengan hal itu karena saya selalu membawa citra yang baik sebagai Bobotoh. Hal semalam membuat saya sadar bahwa saya berhak sombong karena mampu mencerminkan Bobotoh yang memang diinginkan mungkin oleh seluruh pecinta sepakbola.
Pada akhirnya semua kembali pada sifat masing-masing individu. Ada yang bisa berfikir jernih ada yang tidak. Ada yang bisa menahan emosi ada yang tidak. Bahkan kelas tiket VIP pun tidak menjamin seseorang untuk bisa menjadi suporter yang baik. Kursi penonton dicopot dan dilempar ke bench Arema di depan mata kepala saya. Wow, begitu bangganya saya sebagai bobotoh “luarkota” karena dapat memagari hati untuk tidak seperti itu.
Hal eksternal tentu saja ada pada 3 sejoli. Wasit, aparat, PSSI. Wasit adalah biang keladi dari segalanya. Entah karena dia beserta AW1 dan AW2 berpendidikan rendah sehingga mempunyai tingkat intelektual yang bisa dibilang sangat lemah. Ataukan mereka sudah “dipegang” oleh sejoli yang lain yaitu PSSI? Sangat mungkin terjadi. Saya sampai detik ini beranggapan bahwa Persib merupakan tim yang jujur sehingga dia jarang “sungkem” ke PSSI. Hal ini membuat Persib tidak mendapat angin surga dari PSSI sehingga lewat wasitlah berbicara.
Inilah wajah sepakbola kita, susah menjadi rahasia umum kalau klub yang suka ”sungkem” ke PSSI akan dapat previlage tersendiri. Intinya Persib tidak hanya melawan tim lawan tetapi wasit pun jadi lawan ke duabelas. Haruskan Persib juga ikutan “sungkem” ke PSSI agar juga mendapat angin segar dan tidak dikerjai wasit lagi? Dan beranikah PSSI menghukum Persib yang sedang kecewa pada ISL? Persib primadona ISL, rating televisinya tinggi, akan neraka bagi PSSI kalau Persib sampai lepas.
Aparat merupakan pelengkap derita sepakbola kita. Kemarin klasik sekali mereka, hanya menonton kerusuhan dan terkesan takut kepada penonton. Lebih baik pulang saja bapak-bapak kalau kau takut “berlayar”. Hal ter-“freak” yang terjadi kemaren adalah ketika mereka berusaha menghabisi Pablo Francis. Sebuah sikap orang-orang pengecut yang berbondong-bondong layaknya SMA tawuran mengejar Pablo. Jangan beraninya keroyokan pak, giliran suporter yang rusuh anda diam.
Banyak kenangan yang tercipta dalam 12 jam hidup saya di Bandung kemarin. Mulai dari mengantar jersey Indonesia ke sodara tercinta, nonton konser Mocca, hingga puncaknya menonton Persib. Hal positif coba saya munculkan bahwa saya menjadi saksi sejarah kebobrokan sepakbola kita secara langsung. Hal ini dikarenakan stasiun TV pemegang hak siar juga tak punya nyali untuk menayangkan kejadian-kejadian yang bisa menjatuhkan citra ISL di dpn LPI ataupun masyarkat .
Genta Pangripta | @gentaripta
Pendapat yang dinyatakan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan pendapat pribadi penulis, tidak mencerminkan pendapat redaksi Simamaung.

Haram keur PERSIB ari kudu “sungkem” menta jatah ka PSSI, anu kudu mah c NURDIN ZOLID nu kudu sungkem ka PERSIB jeung BOBOTOH,
qta adalah saksi dari sebuah konspirasi yang dibuat a****g” PSSI..
memang benar qta ga mau tunduk pada anjing yang ada di PSSi, masa Maung kalah ma a****g…!!!!!!
selamat datang di kota kembang, dimana langit akan selamanya BIRU…
Viking Jakarta Kami Yakin Anda Ada….!!!!!!
wilujeng sumping Kang…
jangan mengambil mengambil keputusan dalam keadaan emosi
cari tau apa kelemahan kita hingga kita sangat susah sekali meraih kemenangan jangan hanya menyalahkan orang lain INTROSPEKSI itu lebih penting demi kebaikan kita kedepan
PINDAH KE LPI = PECUNDANG
tetap bertahan di LSI dan berusaha menutupi segala kelemahan kita agar pihak lain tidak dapat mengerjai kita lagi dengan cara apapun